KETIKA CINTA DI PISAHKAN WAKTU
 KETIKA CINTA DI PISAHKAN WAKTU 

Cerpen Irfan Sona   Pintu yang berat itu terdengar berbunyi di buka oleh  orang-orang.Terlihatada dua orang wanita muda yang masuk melalui pintu  yang terbuka tadi,dengan menggunakan pakaian ala indonesia. Dari jauh  terlihat jelas bahwa dua orang itu adalah kakak beradik,karena air muka  mereka tampak jelas sekali tidak ada perbedaan yang tertua di antara  mereka bernama Putri dan adiknya bernama Tari. Ketika asyiknya mereka  menikmati indahnya pemandangan dan ikan-ikan yang ada di akuarium itu,  sampai-sampai mereka tidak sadar kalau merekalah orang yang paling  pertama datang ke gedung akuarium itu. Karena sudah terlalu lama mereka  berada di situ,tiba-tiba Putri ingin mengajak adiknya Tari untuk pulang.  Namun Tari tidak memperdulikan itu,matanya terus tertuju pada ikan-ikan  yang indah dan berwarna warni yang ada di pojok gedung akuarium  itu.”Wah....indahnya ikan-ikan ini” terdengar suara dari mulut Tari  memuji ikan itu. Dari alunan suara itu tampak sekali perbedaan kedua  bersaudara itu,Putri adalah orang yang tidak mudah kagum akan sesuatu,  akan tetapi   dia lebih memikirkan pekerjaannya sebagai seorang putri  desa, lain halnya dengan Tari dia adalah seorang anak yang mudah kagum  akan sesuatu, dan dia tidak memikirkan nasib dirinya sendiri.  Hari sudah menunjuki pukul 09.00,dan terdengar bunyi orang membuka pintu  yang kedua kalinya. Terlihat dari pojok gedung itu tampak sekelompok  keluarga masuk kedalam gedung akuarium itu.Yang tertua di antara mereka  berjalan dengan begitu cepat menuju ikan yang indah-indah di dalam  gedung akuarium itu. Melihat kegirangan saudara-saudaranya itu,tak kuasa  yang paling bungsupun juga memaksa turun dari pangkuan ibunya dan ikut  berlari bersama saudara-saudaranya. Tak lama kemudian masuklah seorang  pemuda yang berpakaian rapi dan mengenakan jas berwarna kehitam hitaman.  Sesampainya di dalam gedung, pemuda itu terus melangkah hingga sampai  di tempat Putri dan Tari. Melihat dua gadis itu ia tak tahu apa yang  akan di lakukannya,satu cowok dan dua gadis.  ”To”, panggil anak kecil dari beberapa bersaudara tadi memanggil  kakaknya yang tertua di antara mereka yaitu Toto.  Sambil berjalan dan  melihat ikan-ikan yang ada di akuarium tersebut, tanpa di sadari nya  kalau ia sudah tersesat ke tempat orang yang tidak di  kenalinya.”Tante”panggil anak itu. Mendengar panggilan itu dengan cepat  Tari menoleh kepada anak itu.”Iya......” jawab Tari.  Anak itupun  terdiam dan bingung, karena ternyata yang dia panggil itu bukanlah orang  yang dia kenal, dan ternyata ia sudah tersesat ke tempat orang yang  lain. Tak lama kemudian datanglah ibu dan kakak-kakak nya. Melihat  keluarga yang harmonis itu langsung terpancar senyum manis dari wajah  Tari. ”Adek...mau cokelat ??” tanya Tari. Mendengar pertanyaan  itu,langsung anak tadi berjalan ke tempat laki-laki yang baru masuk  tadi,dan kemudian dia mengambil cokelat itu. Setelah dia mendapatkan  cokelat itu, kemudian dia langsung berlari dengan penuh riang gembira  menuju kepada saudara-saudaranya dengan maksud untuk memamerkan cokelat  tersebut.  Waktu sudah menunjuki pukul 11.00 WIB, tak lama memudian keluarlah Putri  dan Tari dari dalam gedung tersebut. Merekapun langsung mengambil  sepeda yang mereka simpan di tempat parkiran sepeda, dan langsung  bergegas pulang.  Akan tetapi,di tengah perjalanan mereka bertemu lagi  dengan laki-laki tadi yang ada di akuarium tempat mereka berkunjung  tadi. ”Siang nona-nona....” sapa laki-laki itu, ”Siang juga.....” jawab Tari. “O ya....,ngomong-ngomong kalian mau ke mana, kok sepertinya  buru-buru.....” “I ya ni mas, kami memang lagi buru-buru, soalnya ayah sudah menunggu  kami di rumah rumah dari tadi malahan” “O... gitu ?? kalau gak keberatan kita pulang sama-sama saja”Pinta  laki-laki itu. “Emangnya mas mau kemana...???” tanya Putri. “Saya mau pulang ke rumah, rumah saya terletak di jalan Cendrawasih,  komplek Mawar no 02.” “O..... kalau gitu kebetulan dong, rumah kami juga terletak di jalan  cendrawasih.” “Ya sudah kalau kalian tidak keberatan, boleh saya ikut dengan kalian  berdua...???” “Tapi gimana ya.....,soalnya kami harus kepasar dulu untuk beli  oleh-oleh buat bibi di kampung.” “O..... gak masalah,kebetulan saya juga mau cari makanan di pasar.”  Karena asyiknya mengobrol,sampai-sampai mereka lupa kalau mereka sudah  sampai di pasar.Padahal   merea belum juga belum kenal satu sama lain. “Eh Tar... seprtinya kita sudah sampai di pasar” cetus Putri di balik  keseriusan mereka. “O......iya ya kita sudah sampai ni” “Mas, kami cari pesanan ayah dulu ya” “O iya ya.... silakan, biar saaya tunggu di sini aja ya...” “ O... gak usah repot-repotlah mas, mendingan mas pulang aja dulu” “Ngak..., ngak masalah ko biar saya tunggu saja di sini, kebetulan saya  juga mau cari makanan dulu.” “Ya udah deh,kalau memang mas maunya gitu, ya terserah mas ajalah”     Setelah Putri dan Tari mencari pesanan ayahnya, merekapun langsung  pulang.Di tengah asyiknya perjalanan, tiba-tiba laki-laki yang dari tadi  bersama mereka menanyakan nama mereka.”Mbak, saya boleh tanya sesuatu  gak sama mbak berdua, soalnya engkan dari tadi kita mengobrol tapi saya  dan mbak kan belum kenal satu sama lain...” “Boleh.....apa ??” tanya Putri. “Saya Cuma mau tanya siapa nama mbak berdua ini, kalau nama saya  Andika.” “Saya salah satu dari mahasiswa di Universitas Indonesia.” “Kebetul saya lagi menyelesaikan sekripsi ujian akhir saya “Wah keren banget, ungkap Tari.” “Kalau saya ......” “O... ya, nama saya Putri dan ini adik saya namanya Tari.” “Saya seorang putri desa di desa ini dan adik saya sekarang lagi kulyah  di Universitas Teknologi Bandung. Akan tetapi Tari orangnya paling cepat  kagum akan sesuatu.Maklum sejak di tinggal  ibunya, dia memang suka di  manja sama ayah. “Eh... jadi malu ni” cetus Tari. “Sementara saya sendiri lagi sibuk mengurus organisasi perkumpulan  putri-putri desa, dan di tambah lagi harus mengurus rumah, ayah, dan  adik saya ini.” “Emangnya ibu kalian kemana....” tanya Andika. “Ibu kami sudah lama meninggal, sekarang kami hanya tinggal bertiga  dengan ayah.” “O gitu......” “maaf saya gak bermaksud buat kalian sedih” “Nggak apa-apa ko mungkin ini smua sudah kehendak Allah.” “Ya si, tapi saya harap kalian harus sabar dan tetap tabah ya...” “terutama kamu Tari,kamu harus bantu kakak kamu, kan kasihan dia,  sudahlah sibuk dengan pekerjaannya di tambah lagi harus mengurus rumah,  kan kasihan....” Tak lama kemudian Tari dan Putri pun tiba di persimpangan jalan rumah  mereka.”Andika mungkin kita harus berpisah sampai di sini, karena kami  tinggal di jalan ini, ngak jauh kok, paling-paling lima menit dari sini,  sudah sampai.” Cetus Putri Akhirnya Putri, Tari dan Andika pun berpisah di tengah jalan.Sepanjang  perjalanan pulang, Andika hanya terbayang-bayang wajah kedua gadis itu,  apalagi dengan Tari yang dari tadi hanya bercanda dan selalu penuh  senyuman kepadanya. Sesampainya di rumah, Putri danTari sudah di tunggu ayahnya, karena  mereka ingin pergi ke rumah bibi mereka.Tak lama kemudian merekapun  berangkat ke rumah bibi mereka, untuk mengantar hadiah yang mereka  belikan tadi sekaligus untuk menjenguk keponakan mereka yang sedang  sakit.  Pagi-pagi sekali Andika sudah pergi ke kampusnya. Dengan wajah yang  penuh kegembiraan,diapun terus mengayuh sepedanya. “Ya Allah, seandainya pagi ini kau pertemukan aku dengan Tari, mungkin  aku tak bisa berkata- kata lagi untuk memujimu.” Ucap Andika kepada  dirinya sendiri. “Kring...kring...”  Bunyi suara sepeda di belakang Andika. “Pagi mas...” sapa Tari “Hay....pagi juga” sahut Andika. “Wah cantik banget,” ungkap Andika dalam hati “Mas....ko ngelihatnya seperti itu, apa ada yang salah atau ada yang  aneh gitu dengan saya” tanya Tari. “Ngak..., ngak ko ngak ada yang salah apalagi aneh.” “lalu apa dong....” “gini saya heran aja , dan gak nyangka aja kalau pagi ini  bisa bertemu  dengan orang uang secantik dan semanis dirimu” “ii....., mas ini gombal deh.” “ngak..., emang benar kok, kamu pagi ini terlihat tampak lebih cantik  dari pada kemaren, jangan-jangan kamu mau ketemu pacar kamu ya....” “ pacar......... saya belum punya pacar mas, kalaupun ada ya.... itu mas  kali.” “sorry.....,Cuma bercanda.” Sambil tertawa mereka terus mengobrol sampai di depan kampus Andika. Sekembalinya Tari ke rumah, dia tampak ceria dan mulai senang untuk  mengurus bunga-bunganya lagi dan mau membantu kakaknya. Sampai-sampai  kakak dan ayahnya pun heran melihat tingkah laku Tari akhir-akhir ini.  Itu semua terjadi saat Tari mengenal Andika dan mungkin karena kedekatan  mereka.  Andika adalah anak pak Sunarto, salah satu orang yang terpandang di desa  makmur. Dia juga selalu perduli akan kebutuhan orang lain dan  keluarganya.  Hari itu tampak Andika lebih awal dari hari biasanya pergi ke kampus. Di  tengah perjalanan ke kampus. Pikirannya hanya tertuju pada Tari. Maklum  mereka juga sudah sangat dekat. Tiba-tiba taripun muncul dari belakang  Andika, seraya mengucapkan,”selamat pagi tuan......”Andika ppun terkejut  bukan kepalang, dia sungguh tak menyangka kalau pagi itudia bisa  bertemu lagi dengan Tari. Soalnya sudah tiga hari dia tidak berjumpa  dengan Tari, karena Tari ikut pergi ke desa untuk menjenguk bibinya di  sana, “Wah... kamu cantik sekali Tari” “ kamu tu ya paling bisa kalau merayu dan bercanda.” “ enggak...., saya tidsk bercanda, tapi ini kenyataan.” “mm....... terima kasih ya atas pujiannya.”   Tari memang terlihat sangat cantik, apalagi baju yang dia pakai sangat  mndukung wajahnya, wajar aja kalau dia trlihat sangat cantik. “o ya kamu hari ini ada acara tidak..” “ kalau tidak ada boleh dong saya main ke rumah kamu, sekalian  berkenalan dengan ayah kamu” “ kalau acara si gak ada tu” “ pi saya mau bantu kakak mempersiapkan undangan buat perkumpulan putri  desa lusa” “ soalnya kakak saya terpilih sebagai ketua umum perkumpulan putri desa” “O gitu, kalau memang lagi sibuk, lain kali aja deh saya main ke rumah  kamu ya.....” ‘ bolehkan.......” “ Iya, pasti boleh kok, nanti mas datang saja ke rumah saya, kebetulan  ayah juga lagi libur.”  Pagi itu tepat pukul 08.00 Andika bergegas untuk pergi ke rumah Tari.  Dia memakai baju kemeja lengan panjang berwarna putih dan di lapisi  dengan jas hitamnya, dan dia klihatan lebih tampan sekali dari biasanya.  Setelah sampai di rumah, Andika duduk di halaman rumah yang di penuhi  kembang dan mawar berwarna putih yang begitu harum baunya. “Subhanallah...., indah sekali kebun bunga ini” ucap Andika kekaguman  Tak lama kemudian Tari pun keluar dari rumahnya untuk menemui Andika  yang dari tadi sudah menunggunya di perkarangan rumahnya. “Pagi mas.....” sapa Tari “ eh..... kamu, pagi juga” “maaf ya sudah membuat mas lama menunggu” “O... gak kok, saya juga belum terlalu lama datang” “ ngomong-ngomong mana kakak dan ayah mu”    “Ko sepi sekali rumah ini” “o... itu, kakak lagi sibuk untuk persiapan kongres kongres putri desa  besok dan ayah lagi mandi” “ mas masuk yok”  Sambil menunggu ayah Tari keluar kamar, mereka sibuk mengobrol yentang  putri desa yang akan di adakan besok. Apalagi yang akan bicara  untuk  memberikan sambutan adalah kakak Tari sendiri yaitu Putri. “Kakak saya memang selalu sibuk untuk mengurus organisasinya, apalagi  mereka sekarang sudah bekrja sama dengan perempuan-perempuan kota untuk  di jadikan anggota organisasi mereka.” Ungkap Tari di tengah keheningan. “mengapa kamu tidak mau bergabung dengan organisasi kakak mu itu...” “ ya si....,sebenarnya saya mau ikut, tapi saya gak tahu caranya,  apalagi sayakan belum berpengalaman.” “kalaulah kamu mau masuk organisasi itu,pastilah kamu akan mendapat  pengalaman yang luar biasa apalagi bisa bertemu dan bisa berkenalan  dengan perempuan di bangsa kita ini.” “akhir-akhir ini perkumpulan para pemuda Indonesia juga gak kalah  hebatnya dari apa yang kakak mu lakukan.” “ ya, nanti saya akan coba mendaftarkan diri saya ke sana dan kalau di  terima, maka saya akan berusa untuk membawa nama baik perempuan bangsa  ini, agar menjadi perempuan yang kuat dan bermatabat di mata dunia.” “Kalau kamu memang serius,maka saya akan dukung kamu” Akhirnya ayah Tari pun keluar untuk menemui mereka.  Setelah sekian lama  mereka mengobrol, Andika pun meminta izin untuk membawa Tari  jalan-jalan.  Dan ternyata ayah Taripun mengizinkan. Setelah mendapatkan  izin dari sang ayah, Tari pun bersiap-siap untuk pergi. Tak lama  kemudian Tari dan Andika pun pergi untuk berjalan-jalan. Sementara itu  kakak Tari di panggil ayahnya keluar dan di suruh ayahnya untuk menunggu  adiknya sampai pulang.  Dari balik kaca rumah,Putri melihat adiknya yang berjalan teramat mesra  laksana sepasang kekasih. Dari kejauhan dia masih tetap saja memandang  gerak gerik adiknya itu hingga akhirnya tak terlihat lagi. Putri pun  tampak termenung di beranda rumah,dia seperti melamunkan sesuatu. “Toto, kalau saja kamu masih di sampingku hingga saat ini, pasti saya  tidak akan merasa kesepian seperti ini, dan saya juga merasa iri dengan  kebahagiaan adik saya dan temannya Andika.” Ucap Putri sambil menangis. Dia sepertinya teringat dengan bekas tunangannya dulu, dan mungkin saja  dia masih menyimpan rasa rindu di hatinya terhadap tunangannya itu,akan  tetapi dia selalu mencoba unt k mengubur rasa itu dari dari dalam  hatinya, hingga dia memutuskan untk mencari pengganti toto. Karena dia  tidak ingin di sakiti lagi untukedua kalinya. Hal itu juga yang mungkin  menyebabkan dia jadi keras dan tidak cepat kagum akan sesuatu,lain  halnya dengan Tari dia memang belum merasakan di khianati cinta.  Di sepanjang perjalanan Andika dan Tari selalu bercanda tawa tanpa  mengenal lelah dan memperdulikan waktu.sampai pada saat di mana tempat  yang mereka tuju telah di dekati,lalu merekapun tmpak bersiap-siap untuk  turun ke bawah air terjun yang sangat indah. “Wah, luar biasa sekali Allah menciptakaan alam dan pemandangan yang  seindah ini.”cetus Tari yang kagum akan keindahan alam yang di ciptakan  oleh sang illahi itu. “Tari kamu harus ingat apa kata ayahmu tadi,   kamu jangan sampai  terlalu kagum akan sesuatu.” “O.... gak kok” “saya hanya terharu saja pada keindahan alam di kaki pegunungan ini.” “soalnya tempat ini selalu mengigatkan saya pada sang bunda dan masa  kecil saya.” “dulu saya selalu di ajak bunda untuk pergi ke tempat-tempat seperti  ini, dan sekarang saya sudah tidak bisa merasakan itu lagi hanya baru  kali ini.” Ucap Tari sambil meneteskan air mata. “Tari, maafkan saya” “ saya tidak bermaksud membuat kamu sedih, saya hanya mau ingatin kamu  pada pesan ayah kamu tadi.” “O..... gak apa-apa kok,ini semua memang salahku yang terlalu larut akan  semua ini.”  Waktu sudah menunjuki pukul 17.30 WIB, dan kini Tari dasn Andika harus  bergegas pulang. Karena mereka tidak ingin mengecewakan dan membohongi  ayah Tari. “Andika, sepertinya kita harus lekas pulang, karena hari sudah terlalu  sore, nanti kita di cari ayah” “ ok, kalau begitu saya ambil tas dulu ya.” “O.... ya silakan.”  Padahal baru saja Andika ingin mengungkapkan isi hatinya kepada Tari,  tetapi mereka harus segera pulang. Supaya mereka tidak di cari sama  ayahnya Tari. Tak lama kemudian Tari dan Andika pun muncul di pekarangan  rumah Tari, di situ hanya tampak  kakaknya Tari yang dari tadi menunggu  mereka pulang. “Andika sepertinya itu kakak,” ucap Tari. “I ya...... itu memang kakak kamu yang lagi nungguin kamu.” “Assalamualaikum........” sapa Tari dan Andika kepada putri. “Waalaikumusallam......” "Eh kalian sudah pulang” “bagaimana jalan-jalannya, Asyik gak” “O...... itu, pasti dong” “jalan-jalannya asyik bangat” “Hai Andika.....” “Hai juga ......” “ O ya masuk yok, nanti saya buatin air. Mungkin kamu haus, karena sudah  satu harian jalan-jalan” “ Tari kamu tunggu di sini bentar ya, kakak  mau ambilkan air dulu  kedalam.” “E...... sudahlah Putri gak usah repot-repot, lagi pula saya mau pulang” “Kasian mama di rumah sendirian.” “Sekali lagi terima kasih aja atas tawarannya, sekarang saya permisi  pulang dulu ya.” “O ya silakan” “Andika, terima kasih ya atas.........” Tiba- tiba  ucapan Tari dia  hentikan sambil dia tersenyum dengan manisnya.  Andikapun bergegas pulang ke rumahnya, karena dia tidak mau membiarkan  mamanya sendirian di rumah sore-sore seperti ini. Maklum ayahnya memang  lagi tidak  ada di rumah. Sesamapainya di rumah Andika langsung masuk ke  dalam sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum.......” “ ma......mama.....” panggil Andika mencari mamanya. “waalaikumsalam.......” “ Ada apa si Dika kamu kok teriak-teriak.” “ seperti orang gila saja.” “ Ah... mama ini, bisanya Cuma becanda aja.” “ O ya ma,Dika mau mandi dulu ya. Soalnya badan Dika sudah bau bagat ni,  habisnya satu harian main di bawah sinar matahari dan air terjun di  bawah kaki gunung Cempaka.” “ Ya sudah, cepat mandi sana.......” “Jangan lupa shalat lalu baru kamu boleh istirahat.” “ ok deh mam....., tugas akan segera hamba laksanakan.”  Kongres putri desapun dimulai, dan tampak Putri lagi bersiap-siap untuk  menyampaikan sambutan kepada para peserta yang hadir. Dan tampak di situ  ada seorang putri yang cantik sekali. Siapa lagi dia kalau bukan Tari  adiknya Putri.  Tak lama kemudian Putripun berjalan menuju panggung dan naik ke atas  mimbar yang di sediakan panitia penyelenggara kongres tersebut, untuk  memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut. Setelah ia di  persilakan oleh pembawa acara, suara riuh tepuk tanganpun menghempas  ruangan yang tadinya sunyi. Setelah Putri menyampaikan isi sambutannya,  suara tepuk tangan yang tadinya ribut serentak hilang seketika. Kemudian  Putri berbicara tentang martabat wanita Indonesia yang hancur  disebabkan oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun,  tak lama kemudian gedung yang tadinya sunyi kini terdengar kembali oleh  suara riuh tepk tangan para  peserta kongres yang hadir. Ketika Putri  memberi semangat dan gambaran tentang wanita-wanita Indonesia masa kini.  Kongres itupun akhirnya selesai setelah Putri menutup acara tersebut dan  turun dari panggung kehormatannya. Tampak para peserta mulai sibuk  keluar dari gedung sambil bersalaman dengan Putri dan yang lainnya.  Hanya Tarilah yang masih duduk di bangkunya sampai para peserta tadi  keluar semua. Putri pun datang mendekati Tari, dan merekapun bergegas  untuk pulang ke rumah. Disepanjang perjalanan Tari selalu ingat akan  pesan kakaknya tadi waktu memberi sambutan. “ kita sebagai wanita Indonesia yang lahir di desa harus bisa bangkit  dan jangan mau di perbudak oleh kaum laki-laki.” Kata-kata itu selalu  teringat oleh Tari  Sesampainya dirumah Putri langsung pergi menuju ruang dapur, dan dia  melihat banyak sekali barang-barang yang kotor. Kemudian, dia langsung  membersihkannya. Lain hal nya dengan Tari, ketika sampai di rumah dia  langsung masuk kamar dan langsung istirahat. Tak lama kemudian, ayah  merekapun pulang kerumah dan melihat Putri yang lagi sibuk membersihkan  dapur. Melihat keuletan anak pertamanya itu dalam mengurus rumah tangga,  tiba-tiba dia teringat akan almarhum istrinya dulu. “ Bu.... kalau kamu masih hidup, pasti anak kita gak akan seperti ini.”  Ucap ayah Putri sambil menangis. Mendengar suara ayahnya di luar,  Putripun langsung keluar menemui ayahnya itu. “Eh..... ayah, sudah pulang yah??? “ Gimana yah keadaan bibi apa sudah baikan atau mungkin masih sakit....”  Sambil menyapu air matanya, didi menceritakan keadaan saudaranya itu  kepada putri. “ Putri bibimu sekarang sudah sembuh, dan sudah bisa bekerja lagi.” “ Kamu sendiri gimana apa kongresnya berjalan dengan lancar.” “iya yah... kongresnya lancar-lancar aja kok tadi.” “ yah, saya mau tanya sama ayah.” “Gimana kalau adik saya keluar aja dari anggota putri desa....” “Ya... kalau itu si ayah masih kurang berani mengambil keputusan,  soalnya kasihan adikmu dirumah tidak ada yang mau dia perbuat” “iya....ya, ayah benar juga.” “ nanti kalau Tari keluar dia mau kerja  apa....”  Hari sudah menjelang sore, tampak Putri dan Tari lagi asyikduduk berdua  di beranda rumah sambil bercanda. “ Tari ayo kita masuk.....” “sepertnya hari sudah mau magrib, kan tidak  enak di lihat tetangga kalau kita nongkrong di teras magrib-magrib  begini” “Ayo...., saya juga sudah capek bercanda terus apalagi sama kakak.” “Bosan ah.....” “Seperti gak ada nuansa baru.” “Udah ah....kamu ini, ayo masuk” Akhirnya Putri dan Taripun masuk kedalam rumah,lalu merekapun shalat  berjamaah bersama ayahnya. Sungguh keluarga yang sejahtera walaupun  keluarga mereka sudah kehilangan satu orang yang sangat berpengaruh  besar di keluarga itu dan yang sangat mereka sayangi. Siapa lagi kalau  bukan ibu mereka yang sudah tiada saat mereka masih kecil.  Pagi-pagi sekali, Putri sudah bangun. Dan dia langsung mempersiapkan  sarapan untuk ayah dan adiknya. Tak lama kemudian, ayah dan adiknya pun  bangun, dan ayahnya langsung bergegas mandi karena mau pergi bekerja.  Sebelum berangkat ayah Tari sarapan terlebih dahulu baru di ikuti Tari  dan Putri. Merekapun sarapan bersama-sama. Setelah selesai  sarapan,Taripun langsung pergi ke sekolah. Sungguh tiada disangka dan  diduga kalau hari ini dia juga bertemu dengan Andika. Ditengah  perjalanan mereka tampak asyk mengobrol layaknya sepasang kekasih.  Padahal mereka hanya sebatas teman biasa. “Tari apa kamu ada waktu hari minggu nanti.....” “waktu apa......?” “Waktu kosong....” “Kalau ada saya mau mengajak kamu pergi ketempat yang belum pernah kita  kunjungi di desa ini.” “Ada....” “Ok... kalau begitu nanti saya tanya sama ayah boleh apa tidak.” “Kalau boleh kita langsung pergi, tapi kalau tidak diizinkan mas jangan  kecewa ya.” “Pastinya dong.”  Sekembalinya Tari kerumah, diapun langsung berjumpa dengan ayahnya dan  diapun mencoba meminta izin kepada ayahnya. Namun ayahnya tidak  mengizinkan, karena hari minggu nanti akan di adakan kongres lanjutan.  Sebagai lanjutan dari kongres beberapa hari yang lalu. Taripun memahami  hal itu,dan diapun menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Hari minggu  itupun ternyata Andika pergi kerumah orang tuanya di kota baru, karena  dia sudah memasuki waktu liburan dan ingin menghabiskan liburannya  disana.  Pagi itu tampak kedua bersaudara itu sudah bersiap-siap untuk menghadiri  kongres lanjutan, dengan pakaian kebaya yang mereka kenakan menambah  indahnya suasana di pagi itu. Kongres itupun dimulai, setelah Putri  masuk dan naik ke atas mimbar. “saudara-saudara sepertinya kalian sangat jemu mendengar saya berbicara  di depan sini, membaca nasihat-nasihat yang sangat manis untuk kaum  perempuan ini. Tetapi, saudara-saudara harus ingat selalu akan hal itu.  Supaya kita bisa menjaga harkat dan martabat wanita bangsa ini." " supaya untuk menjaga wanita itu agar jangan cepat insyaf akan  kedudukannya, akan nasibnya yang nista ini.itu semua harus kita lakukan  demi melindungi kaum wanita dari kejahatan dan aib.dengan jalan jalan  demikianlah maka perempuan kita akan berguna dimata dunia.”  Panjang lebar Putri menyampaikan nasihat demi menjaga wanita bangsa ini.  Agar menjadi wanita yang kuat dan besar. Kongres itupun akhirnya usai dan para peserta memberikan tepuk tangan  dan semangat serta penghargaan kepada Putri, atas kepandaiannya dalam  memimpin. Putri dan Taripun langsung pulang kerumah karena mereka sudah  di tunggu ayah mereka. Hari itu mereka di ajak ayahnya pergi ke rumah  bibinya. Sudah satu minggu Andika di rumah orang tuanya, kini diapun ingin  kembali ke kampung halamannya untuk meneruskan kulyahnya yang sudah  masuk semester akhir itu. Namun dia juga masih ingin tinggal lebih lama  lagi dengan orang tuanya di kota baru karena dia sudah lama sekali tidak  bertemu dengan orang tuanya itu.  Tari dan Andikapun kini bisa berjalan bersama lagi, setelah hampir satu  bulan mereka tidak bertemu. Mereka duduk berdua  diatas batu besar yang   hitam kehijau-hjauan oleh  lumut. Andika mengenakan jas berwarna hitam  dan berdasi sutra yang kemerah-merahan. Dibahunya tersandang  tali botol  termos yang di gantung pada sisi lengannya,dan tangan kanannya di  pegangnya topi berwarna hitam. Tari yang memakai baju putih dan rok  hitam yang menutupi lututnya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang  lebih tinggi sedikit dari mata kakinya. Dipangkuannya dipegangnya sebuah  bungkusan kecil. Keduanya takjub melihat kehadapan, kepada air terjun  yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun  bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak, air yang baru jatuh itu  terkumpul dibawah didalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir  diantara batu-batu yang besar.  Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda. Dua orang  laki-laki dan dua orang perempuan. Diatas t ebing kelihatan beberapa  orang laki-lakiberpakaian padu. Sementara itu, dari atas tebing  dibelakang mereka senang tiasa kelihatan orang datang. “Mengapa kamu dia saja.....”  Tari mengangkat mukanya yang kemerah-merahan karena sinar matahari dan  memandang kepada Andika agak keletihan rupanya. “Saya agak lesu.....” katanya perlahan hampir tiada kedengaran.  Mendengar jawaban Tari itu, segera berubah muka Andika dan tampaknya dia  agak cemas. “ kamu sakit Tari.....” suaranya terang menyatakan bahwa ia agak  khawatir melihat rupa Tari ketika itu. Tapi Tari menggelengkan kepalanya  dengan senyum antara kelihatan dan tiada.    “ sakit si tidak, tapi saya agak letih” “ Saya dari dulu memang kurang kuat menahan letih.” “ Kalau saya sudah berlari cepat-cepat, pemandangan saya dan nafas saya  agak sesak.” “ Ya badanmu budan badan yang kuat, saya salah dari tadi tidak ingat  akan hal itu.” Kata Andika agak menyesal.  Andika memandang ke sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang baik.  Lalu dilihatnya dibelakang mereka ada batu yang besar, lalu berkata ia  kepada Tari. “ Tari. ..., ayo kita kesana ke batu dekat tebing itu, engkau boleh  beristirahat disana sesukamu.” “ Ah... tidak mengapa, disini saja paling juga sebentar lagi letih saya  akan hilang.” Jawab Tari membantah, ia tidak ingin menunjukan kelemahan  yang di lebih-lebihkan.  Tetapi andika tidak dapat disangkal lagi,ia merasa tanggungan yang  dipikulnya amat besar. “ Tidak.....tidak....., engkau harus duduk  disana.” Ucapan yang setetap itu tidak terlawan oleh Tari. Iapun berdiri  dan bersama-sama Andika, pergi kebatu ditepi tebing itu. Andika  mengeluarkan dua buah bingkisan roti dari sakunya dan diberikannya  sebuah kepada Tari. ” Marilah makan ini dulu, badanmu akan dikuatkannya kembali.”  Sementara itu, mereka bercakap-cakap juga. Bertambah lama bertambah  asyik, sebab lambat laun Tari hilang pula letihnya. Andika menceritakan  kebesaran dan keindahan alam didaerahnya tempat ia lahir. Hutan yang  luas, danau yang besar dan indah dan jalan yang berbelit-belit dan  berliku. Bercahaya-cahaya mata Tari mendengar cerita Andika akan  keindahan negerinya. Dan didalam hatinya yang mengagumi anak muda itu  tergambarlah segala hal yang didengarkannya itu.Tari mencoba berdiri dan  berjalan-jalan, seolah-olah dia berada ditenpat kelahiran Andika.  Andikapun sedikit tertawa melihat tingkah laku Tari yang berubah secara  spontantanitas itu. “ kamu sudah kuat Tari.......”saya takut nanti harus mengendong orang  pula pulang ke rumah.” Ejek Andika kepada Tari. “ Ya... saya tahu akan hal itu, sebab engkau tidak akan kuat mengendong  saya” jawab Tari sambil tertawa. Mukanya yang merah karena panas lebih  memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang keluar dari mulutnya   dengan tiada di ketahuinya itu, dan dibuangnyalah mukanya ke tempat lain  karena dia agak sedikit malu untuk memandang andika. “ Kalau tidak letih ternyata Tari lucu benar.” Ujar Andika dengan  tenang. Baiklah kita naik keatas berjalan-jalan disana.” Iapun berdiri  pula, diambilnyalah setangan alas duduk Tari, dikiraikannya beberapa  kali, lalu dimaskkannya kedalam sakunya. Tari mengambil lebih buah  anggur yanh terletak diatas batu dengan tangannya. “Indah benar tempat berjalan dibawah bambu ini” ujar Tari seraya  memandangkan matanya mengikuti jalan yang teduh dihadapan mereka. “ Ini pertama kali saya berjalan kemari, di Jakarta tidak ada tempat  berjaan hari minggu seperti ini dan seindah ini.”  Perasaan bahagia yang menahan kegembiraan hati mereka. Langkah mereka  memberat dan percakapan yang riang, penuh canda dan tawa melembut  seperti belaian yang halus. “ Mengapa kamu diam pula……..” kata Andika tiba-tiba setelah mereka lama  berjalan dengan tiada terkata-kata. Tari mengangkat mukanya melihat  kepada Andika dan matanya yang besar hitamdan jelita itu berat rupanya.  Senyum yanh tertahan membayang pada wajahnya. Andika segera membuang  mukanya melihat mata gadis yang menghimbau itu. Ia menolak perasaan yang  ghaib merasuk qalbunya. Tari melihat kepada bunga kembang setahun yang  tumbuh terpencil di bawah bunga Marygold yang gembira memuncakan  kembangnya yang kuning. “ Bagus benar bunga ini,” ujar Tari. “ kalau kita di Jakarta, tentu sudah saya cabut bunga ini untuk ditanam  di rumah.” “Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu  ditanam” “O ya, kalau begitu baiklah kamu yang menyimpannya, saya hendak  mencucukannya di kelopak bajumu.maukah kamu…..” Dengan tiada menanti jawaban lagi,seeralah Tari memetik bunga itu. Iapun  mendekati Andika dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu,  dan memasukannya kedalam kelopak baju Andika. Sementara itu,Andika  dengan pesat mengamati gadis yang sangat dekat dengannya itu. Rambutnya  yang hitam lebat teranyam, mukannya yang merah bercahaya tersenyum  ditahan. Sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada  dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi  kedua muda remaja itu. Dari mulut Tari keluar ucapan agak gemetar,  tatapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan  kemenangannya.  Tari tiada membantah lagi, tetapi mukanya yang memucat di tundukannya  kebawah dengan tiada berkata sesuatu apapun. Pada mata Tari kelihatan  kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta mengemetarlah suaranya  untuk pertama kali seumur hidupnya. “ Tari….Tari….. tahukah kamu kalau saya cinta padamu….” Badan Tari  gemetar dan melemah lalu diapun terjatuh ke tangan Andika dan seraya  menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu  hampir-hampir tiada kedengaran. “Lama benar kamu menyuruh saya menanti kata-katamu…..” tak dapat lagi  dia meneruskan ucapannya, sebab Andika menundukan kepalanya ke arah Tari  dan menutupkan bibirnya ke atas bibir Tari. Dan dalam curahan cinta  pertama yang mengemetarkan badan mereka yang muda remaja itu,menjauh  mengaburlah keinsafan mereka akan tempat dan waktu. Sama-sama mereka berjalan dengan penuh mesranya berpegangan di antara  pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ti tiup angin. Ketika tiba di  seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya  mereka melangkah dari batu ke batu. Sekelilingnya indah nan permai  seperti biasanya di tengah alam, dan indah nan permai seperti biasa pula  pujuk dan cumbu asyik maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan  perasaan cinta pertama yang penuh harapan.  Tari telah menceritakan kepada Putri bahwa dia telah berjanji kepada  Andika untuk menjadi istrinya di kemudian hari.  Pada suatu malam, sesudah makan gadis berdua itu berkumpul dikamar tidur  mereka. Putri duduk di meja membaca buku, sedangkan Tari  berguling-guling ditepi tempat tidur sambil membaca sebuah roman. Di  luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya hujan turun.  Beberapa lamanya Tari melamun di beranda menantikan kekasihnya yang  tiada juga kunjung-kunjung datang.  Putri sudah lama memperhatikan cara Tari membaca itu, geli hatinya  melihat ia yang tiada beralih-alih dari halam yang dibacanya itu.  Beberapa kali telah ia tegur Tariyang melamun menghadapi buku, tetapi  hal itu tiada diperdulikannya. Tak beberapa lama kemudian, kembalilah  Tari kekamarnya, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh  amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Putri “ kamu jahat benar  kak, menipu saya seperti itu.” Banyak yang tak dapat dikatakannya, lalu  dibantingkannya badannya ke tempat tidur, seraya menangis  tersedu-sedu.”Engkau selalu mengganggu saya, engkau tidak tahu bagaimana  perasaan saya” ujar Tari tersendu-sendu. “Tidak…. Tidak…., saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal akan  perbuatan saya tadi. Maafkanlah saya Tari….” Di tariknya tangan Tari  perlahan-lahan supaya melihat kepadanya lalu berkatalah dia “ Tari  mengapa engkau sebodoh itu……” Putri hanya berolok-olok . “Masa yang seperti itu sudah menangis, kamu bukan anak-anak lagi” “Ya… kamu ngak tahu perasaan saya , bagaimana ibanya hati saya” jawab  Tari  dengan nada yang agak tinggi bunyinya, seraya menelan sedunya dan  menghapus air matanya. “Masakan saya tidak tahu perasaanmu, sebab saya tahu perasaanmulah saya  hendak member nasihat kepadamu…” sebentar terhenti Putri seraya melihat  kepada adiknya itu, lalu katanya pula ” Tari….kamu I ni terlampau  menuruti perasaanmu.” Tari tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya,  ia tidak boleh memperkenankan cintanya kepada Andika di cela seperti  itu. Dengan suara yang terang menyatakan tiada senang hatinya mendengar  nasihat saudaranya itu, katanya “saya cinta kepadanya dengan seluruh  hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tidak mencintai dia gitu.”  Putri berbuat seolah-olah dia tidak tahu bahwa saudaranya marah dengan  nasihatnya. Dengan sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan  perkataannya, seolah-olah hendak menenangkan fikirannya senyata-nyatanya  mungkin, berkatalah ia “ maksud saya bukan menyuruh kamu berbohong dan  pura-pura tidak cinta dengan dia.” “Tidak sama sekali saya menyuruh kamu begitu.” “Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan  seperti sekarang ini, bearti merendahkan dirimu kepadanya.” “terlampau kamu menyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya,  bahwa kamu tidak dapat hidup lagi , kalau tiada dengan dia.”  Ah…. Kamu ingin mengatur orang pula, saya cinta padanya. Biarlah saya  mati daripada saya berpisah dari dia.” “Apapun akan saya kerjakan untuknya.” “Saya tidak takut dijadikan sahaya. Saya tahu dia cinta juga kepada  saya.” “Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina  menyatakan cinta saya itu padanya.” Jawab Tari dengan tegas mematahkan  segala perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu  karena di nasihati kakaknya seperti tadi. “ Engkau tidak usah memperdulikan urusan saya, saya tidak minta  nasihatmu.” Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Putri, jika dia tidak dapat  menyabarkan dirinya. Setelah itu, sunyilah di dalam kamar itu. Putri  memaksa dirinya untuk membaca buku, tatapi gelisah duduknya terang  menyatakan bahwa hatinya belum reda. Dan ti tempat tidur diam terlentang  Tari dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.  Sunyi sepi, hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Tari di rumah sakit.  Ada kalanya setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yang sedang ada  disana, tetapi ada pula kalanya sampai seminggu tiada dikunjungi orang.  Sekali-kali datang orang yang tiada di sangka-sangkanya, kenalan yang  hendak mengunjungi kerabatnya yang dirawat di rumah sakit itu. Hal itu  membawa kegembiraan hatinya yang tiada disangka-sangka baginya.  Sejak  dari semula Tari tahu bahwa diantara orang sakit yang banyak itu  dia termasuk orang yang berat sakitnya. Kadang-kadang berhari-hari panas  badannya, ia batuk-batuk memuntahkan darah. Waktu yang demikian  tiadalah dia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Dan apabila senua orang  pergi ke luar berjalan-jalan di sekitar rumah sakit itu, melayanglah  pikirannya kepada sekalian orang yang di kasihinya.  Kekasihnya,ayahnya,dan saudaranya.kadang-kadang tringat dia akan  bundanya  yang telah lama berpulang. Dalam waktu yang demikian amat  terasa kemalangan hidupnya di rumah sakit yang sepi di lereng gunung  itu. Jika ia masih dapat mengangkat badannya, maka seringlah dia melihat  dari jendela kaca ke luar kearah pegunungan yang indah. Sering tiada  dapat ia iba hatinya dan menangislah ia tersendu-sendu.  Tetapi apabila badannya agak sehat dan ia di perbolehkan keluar untuk  berjalan-jalan layaknya seperti orang sakit yang lain,maka dirinya  seperti hidup kembali. Puaslah ia mengecap keindahan daerah disekeliling  rumah sakit yang susah di cari tandingannya itu. Tiada terasa kepadanya  waktu habis, apabila ia berjalan di antara kembang-kembang aneka warna  yang amat subur naik ditanah pegunungan itu. Laksana hidup di surgalah  dirinya yang suka akan warna dan kepermaian itu, melancong-lancong di  sekitar rumah sakit itu.  Semua rempat yang dekat disitu dikunjunginya, selalu kakinya yang lemah  itu, tiada terasa penat-penat kakinya namun ia masih tetap saja berjalan  menikmati indahnya alam pegunungan disekitar rumah sakit itu. Nikmat  terasa olehnya pemandangan dari bangku tempat duduk di dataran rendah ,  nikmat terasa kepadanya menengadah ke atas melihat ke puncak gunung yang  bersembunyi di balik awan. Dan kemana sekalipun dia memandangang ,di  segala penjuru nampak kepadanya kegirangan hidup yang mesra di atas  tanah yang mewah membagikan kekayaan kepada dunia.  Sejak dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, berama-sama  dengan angin kuatyang begitu dahsyat. Pohon-pohon sekitar rumah sakit  itu terbuai tertunduk-tunduk  seraya gemuruh menderu-deru dan  berciut-ciut. Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-kejaran, sangat  cepat tiada habis-habis lakunya. Langit yang putih kelabu berat turun  kebawah samapai menyatu dengan pelarian kabut di lereng gunung.  Pada pagi yang seolah-olah seluruh alam mengamuk itu, terbaring Tari  tiada bergerak-gerak di tempat tidurnya. Matanya memandang jauh  kehadapan, tetapi tidak ada sesuatu apapun yang kelihatan olehnya. Kecil  dan jauh terpencil, ditinggalkan segala orang terasa kepadanya, dirinya  pada pagi-pagi yang gemuruh itu. Rasa iba dan pilu melayangkan  pikirannya, tiada tertahan-tahan. Sebentar ia ingat kepada kekasihnya  Andika yang sudah lama dan hampir jarang mengunjunginya.  Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter,  supaya Putri dan Andika dapat tiap-tiap hari datang mengunjunginya. Ah,  rasanya permintaan itu akan di kabulkan, sebab hari senin seminggu lagi  telah habis pula libur orang berdua itu dan lama pula ia akan berjumpa  lagi dengan mereka. Tari mengubah letak bantalnya sedikit, sebab ia hendak menghadap kepada  jendela kaca yang tertutup, yang lantang memberi pemandangan kesebelah  barat. Nampak kepadanya sebentar kabut terangkat dan terlihatlah puncak  gunung yang berwarna hijau kehitam-hitaman. Bersandar pada langit yang  rata putih kelabu-labuan. Di lerengnya masih berkejar-kejar kabut  menutup pemandangan, tetapi agak kebawah banyak kelihatan  kehijau-hijauan hutan dan kebun, mengabur dalam hujan yang turun tiada  henti-hentinya.  Pemandangan yang  suram kea rah gunung yang dibaluti awan dan kabut,   bertambah dalam perasaan sayu dalam hati Tari. Terasa benar kepadanya  kemalangan nasibnya. Telah hampir dua bulan ia terbaring dalam rumah  sakit itu. Usahakan penyakitnya berkurang, dua hari yang lalu ia  dipindahkan ke kamar khusus seorang diri. Tahu ia, bahwa ia di asingkan  itu oleh karena penyakitnya bertambah parah. Telah banyak orang yang  diasingkan kemari tiada hidup lagi keluar. Sering ia bertanya kepada  dirinya “ akan demikian pulakah nasib ku ini…..” Dan pagi-pagi ini pertanyaan itu lebih-lebih datang  merasuk kedalam  hatinya. “Kalau begini rasa-rasanya saya hanya menunggu waktunya saja lagi.” “Betapakah akan rasanya nanti mati, tidak lagi melihat dan mendengar,  menunggalkan segala hal yang dicintai dan disayangi untuk  selama-lamanya.   Matahari telah hampir terbenam dibalik gunung tanah baru. Bernyala-nyala  rupa mega diwarnainya, kuning, merah, dan ungu. Di lembah-lembah dan di  lereng gunung telah turun kekaburan senja, tetapi puncak-puncak yang  menengadah ke langit merah membara turut menyayikan laguan warna. Di seluruh rumah sakit yang putih jernih  dikaki pegunungan itu, sunyi  senyap seolah-olah iapun tiada hendak mengusik kepermaian alam pada  senjanya itu.  Dalam kamar tempat Tari masih Putri dan Andika duduk tiada  bercakap-cakap diatas bangku masing-masing. Kesunyian alam di luar masuk  kedalam kamar kecil yang bersih itu,berat mengeri menyelap kedalam  qalbu orang bertiga itu.  Hari ini adalah hari yang terakhir bagi Putri  dan  Andika untuk  mengunjungi Tari. Pagi-pagi besok keduanya akan bertolak ke Jakarta,  sebab libur mereka telah habis. Sangat berat terasa kepada mereka akan  meninggalkan Tari, apalagi oleh karena penyakitnya yang rupa-rupanya  makin bertambah parah. Dokter sudah berbisik kepada Andika, bahwa  penyakit Tari sudah susah untuk mengobatinya. Dinyatakan kekhawatirannya  kalau usahanya hanya sia-sia.  Bagi Tari perpisahan dengan kedua orang yang dicintainya itu lebih berat  lagi. Meskipun penyakitnya tiada menjadi ringan barang sedikitpun,  tetapi dalam seminggu ini tiada terkata-kata bahagia rasa hatinya setiap  hari bisa bertemu dengan tunangannya dan kakaknya itu. Dan sekarang  waktunya ia akan di tinggalkan Andika dan Putri itu, betapa amat pilu  rasa hatinya dan berbagai-bagai pikiran menghantui dirinya. Dari tempat tidurnya Tari memandangkan matanya keluar jendela. Keindahan   permainan benda di langit datang mendorong kalbunya tiada  tertahan-tahan lagi. Dan sedang di lamun kesedihan perpisahan dengan  kedua orang yang di cintainya itu. Lebih-lebih terasa kepadanya  perbedaan keadaan dirinya dengan keindahan tamasya alam di  sekelilingnya.Tetapi meskipun demikian sekejab tertarik terhanyut juga  hatinya yang pemuja keindahan itu oleh kepermaian  pemandangan ketika  itu, sehingga sebelum dapat di insyafkannya telah keluarlah dari  mulutnya antara kedengaran atau tidak “Alangkah indahnya tamasya di  senja ini, coba kalau saya masih bisa menikmatinya pasti akan saya  rasakan ….” Mendengar ucapan Tari itu Andika dan Putri sejurus memalingkan matanya  ke luar jendela dan keindahan alam pada pertukaran siang dan malam itu  masuk kedalam kalbu  mereka mendalamkan perasaan sayu dan pilu akan  perpisahan yang amat lekas, tiada dapat ditunda lagi. Andika mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar seperti riak air  yang tiada berarti dan bermakna.” Lima belas menit lagi pukul enam.”  Di tundukannyalah kepalanya melihat ujung sepatunya.  Sekejap lamanya  diangkatnya pula mukanya dan iapun melihat kepada kekasihnya yang  terbaring di tempat tidur. Pada saat itu bertemu matanya dengan mata  Tari yang kebetulan sedang mengamat-amati perangai tunangannya itu.  Senyum yang di paksa membayang pada muka yang berjorokan tulang itu  menyerupai seringai dan berat mengeluh selaku setelah perjuagan batin  yang hebat itu.  Andika berdiri pula sambil mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya  keluar kata-kata” tinggal dua menit lagi pukul enam.” Kedua-duanya  berdiri tegak dekat kepala Tari untuk mengucapkan selamat tinggal.  Sama-sama mereka bersungguh-sungguh memberi nasihat kepada Tari supaya  jangan menuruti hatinya, ia jangan sekali-kali berputus asa. Sekali lagi  Putri dan Andika memberi nasihat kepada Tari, sekali lagi mereka  mengatakan bahwa ia mesti sembuh, maka diucapkan merekalah” selamat  tinggal kepada juru rawat dan Tari.”  Dalam senja raya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan  tiada bercakap-cakap barang sepatah katapun. Diseluruh tanah pegunungan  itu malam telah mulai menyiratkan gelapnya. Mega hanya tinggal  kekelabu-labuan dan disana-sini masih tampak kekabur-kaburan warna ungu  lembayun, laksana jejak cahaya matahari yang telah turun dibalik gunung  padu perkasa yang biru hitam rupanya. Di langit bertambah lama bertambah  banyak kelihatan bintang kemilau mengerlip memandang dunia. Andika dan Putri terus berjalan ke bawah menuju auto yang akan membawa  mereka kembali ke rumah. Berbagai-bagai pikiran dan perasaan mengacaukan  jiwa mereka. Waktu terus berjalan. Keresik gugur, gugur ke bumi dan  puncak muda memecah, memecah pula di ujung dahan.” Hhuuhh…. Alangkah  lekasnya waktu berjalan…..” Hari masih pagi-pagi dan di perkuburan dekat kota Baru, tiada beberapa  jauh dari rumah Andika sunyi senyap. Tempat manusia melepas lelahnya  setelah perjuangan hidupnya itu, ketika itu tempat beristirahat yang  sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang ganjil yang  mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu.  Dari kejauhan terlihat dua orang anak muda datang sambil membawa untaian  bunga mawar yang indah.mereka tidak lain adalah Andika dan Putri.  Mereka datang ke kuburan itu hanya untuk berjiarah ke makam orang yang  sama-sama di cintainya itu. Pada batu nisan pualam putih terlukiskan sebuah nama yang tiada lain  adalah Tari. “Tari berpulang  10 Januari 1992.”  Ia wafat dalam usia yang ke 22 tahun. Tidak lama kemudian, perkebunan itupun sepi kembali tanpa ada satu  suarapun. Sementara itu,Putri dan Andika telah beranjak pergi  meninggalkan perkuburan itu, walaupun berat hati kedua orang itu  meninggalkan tempat itu. Terus, auto mereka melancar, berbelok-belok  menurun kebawah ke tempat kerja manusia di tengah-tengah perjuangan  dengan sedih dan senangnya…………. TAMAT Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke  Facebook Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda 0 komentar:  Poskan Komentar  Social Profiles TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail      Popular     Tags     Blog Archives  Entri Populer      Cerita Kisah Mengharukan | Cinta Segitiga     Cerita Kisah Mengharukan | Cinta Segitiga – Cerita Kisah Mengharukan  – Cinta Segitiga – Cerpen Cinta Segitiga – Cinta lagi cinta lagi ...     Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan..     Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan.. Cerita ini adalah kisah  nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam  se...     Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana     Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana Penulis : Inayati Aku  memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 3...     Tak Cukup Hanya Cinta     Tak Cukup Hanya Cinta “Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah  pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari ...     Kisah Cinta Sejati “Catatan Buku Cokelat     Kisah Cinta Sejati “Catatan Buku Cokelat”   Lima tahun usia  pernikahanku dengan Ellen sungguh masa yang sulit. Semakin hari semakin  ti...     KATA KATA CINTA SEDIH     KATA KATA CINTA SEDIH    kata kata cinta sedih adalah kata kata yang  sangat sedih buat diberikan kepada pacar yang telah pergi mening...     Menikah Bukan Akhir Manis Dari Cerita Cinta     Menikah Bukan Akhir Manis Dari Cerita Cinta   DEY AINISWARI Posted  on 28 December 2012 ...     Cerita Cinta Mengharukan Sedih Banget     Cerita Cinta Mengharukan Sedih Banget   Andre dan Sherly adalah  sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari keluarga ...     Hancurnya Sebuah Harapan       Karya: Karya Mira Diana Afianti Sebuah persahabatan yang ku jalani  ini cukup bahagia, ku tak bisa lupakanya. Meski mungkin seben...     Lirik Lagu Bunga Citra Lestari - Cinta Sejati     ...  Recent Posts Download    Pintu yang berat itu terdengar berbunyi di buka oleh  orang-orang.Terlihatada dua orang wanita muda yang masuk melalui pintu  yang terbuka tadi,dengan menggunakan pakaian ala indonesia. Dari jauh  terlihat jelas bahwa dua orang itu adalah kakak beradik,karena air muka  mereka tampak jelas sekali tidak ada perbedaan yang tertua di antara  mereka bernama Putri dan adiknya bernama Tari. Ketika asyiknya mereka  menikmati indahnya pemandangan dan ikan-ikan yang ada di akuarium itu,  sampai-sampai mereka tidak sadar kalau merekalah orang yang paling  pertama datang ke gedung akuarium itu. Karena sudah terlalu lama mereka  berada di situ,tiba-tiba Putri ingin mengajak adiknya Tari untuk pulang.  Namun Tari tidak memperdulikan itu,matanya terus tertuju pada ikan-ikan  yang indah dan berwarna warni yang ada di pojok gedung akuarium  itu.”Wah....indahnya ikan-ikan ini” terdengar suara dari mulut Tari  memuji ikan itu. Dari alunan suara itu tampak sekali perbedaan kedua  bersaudara itu,Putri adalah orang yang tidak mudah kagum akan sesuatu,  akan tetapi   dia lebih memikirkan pekerjaannya sebagai seorang putri  desa, lain halnya dengan Tari dia adalah seorang anak yang mudah kagum  akan sesuatu, dan dia tidak memikirkan nasib dirinya sendiri.  Hari sudah menunjuki pukul 09.00,dan terdengar bunyi orang membuka pintu  yang kedua kalinya. Terlihat dari pojok gedung itu tampak sekelompok  keluarga masuk kedalam gedung akuarium itu.Yang tertua di antara mereka  berjalan dengan begitu cepat menuju ikan yang indah-indah di dalam  gedung akuarium itu. Melihat kegirangan saudara-saudaranya itu,tak kuasa  yang paling bungsupun juga memaksa turun dari pangkuan ibunya dan ikut  berlari bersama saudara-saudaranya. Tak lama kemudian masuklah seorang  pemuda yang berpakaian rapi dan mengenakan jas berwarna kehitam hitaman.  Sesampainya di dalam gedung, pemuda itu terus melangkah hingga sampai  di tempat Putri dan Tari. Melihat dua gadis itu ia tak tahu apa yang  akan di lakukannya,satu cowok dan dua gadis.  ”To”, panggil anak kecil dari beberapa bersaudara tadi memanggil  kakaknya yang tertua di antara mereka yaitu Toto.  Sambil berjalan dan  melihat ikan-ikan yang ada di akuarium tersebut, tanpa di sadari nya  kalau ia sudah tersesat ke tempat orang yang tidak di  kenalinya.”Tante”panggil anak itu. Mendengar panggilan itu dengan cepat  Tari menoleh kepada anak itu.”Iya......” jawab Tari.  Anak itupun  terdiam dan bingung, karena ternyata yang dia panggil itu bukanlah orang  yang dia kenal, dan ternyata ia sudah tersesat ke tempat orang yang  lain. Tak lama kemudian datanglah ibu dan kakak-kakak nya. Melihat  keluarga yang harmonis itu langsung terpancar senyum manis dari wajah  Tari. ”Adek...mau cokelat ??” tanya Tari. Mendengar pertanyaan  itu,langsung anak tadi berjalan ke tempat laki-laki yang baru masuk  tadi,dan kemudian dia mengambil cokelat itu. Setelah dia mendapatkan  cokelat itu, kemudian dia langsung berlari dengan penuh riang gembira  menuju kepada saudara-saudaranya dengan maksud untuk memamerkan cokelat  tersebut.  Waktu sudah menunjuki pukul 11.00 WIB, tak lama memudian keluarlah Putri  dan Tari dari dalam gedung tersebut. Merekapun langsung mengambil  sepeda yang mereka simpan di tempat parkiran sepeda, dan langsung  bergegas pulang.  Akan tetapi,di tengah perjalanan mereka bertemu lagi  dengan laki-laki tadi yang ada di akuarium tempat mereka berkunjung  tadi. ”Siang nona-nona....” sapa laki-laki itu, ”Siang juga.....” jawab Tari. “O ya....,ngomong-ngomong kalian mau ke mana, kok sepertinya  buru-buru.....” “I ya ni mas, kami memang lagi buru-buru, soalnya ayah sudah menunggu  kami di rumah rumah dari tadi malahan” “O... gitu ?? kalau gak keberatan kita pulang sama-sama saja”Pinta  laki-laki itu. “Emangnya mas mau kemana...???” tanya Putri. “Saya mau pulang ke rumah, rumah saya terletak di jalan Cendrawasih,  komplek Mawar no 02.” “O..... kalau gitu kebetulan dong, rumah kami juga terletak di jalan  cendrawasih.” “Ya sudah kalau kalian tidak keberatan, boleh saya ikut dengan kalian  berdua...???” “Tapi gimana ya.....,soalnya kami harus kepasar dulu untuk beli  oleh-oleh buat bibi di kampung.” “O..... gak masalah,kebetulan saya juga mau cari makanan di pasar.”  Karena asyiknya mengobrol,sampai-sampai mereka lupa kalau mereka sudah  sampai di pasar.Padahal   merea belum juga belum kenal satu sama lain. “Eh Tar... seprtinya kita sudah sampai di pasar” cetus Putri di balik  keseriusan mereka. “O......iya ya kita sudah sampai ni” “Mas, kami cari pesanan ayah dulu ya” “O iya ya.... silakan, biar saaya tunggu di sini aja ya...” “ O... gak usah repot-repotlah mas, mendingan mas pulang aja dulu” “Ngak..., ngak masalah ko biar saya tunggu saja di sini, kebetulan saya  juga mau cari makanan dulu.” “Ya udah deh,kalau memang mas maunya gitu, ya terserah mas ajalah”     Setelah Putri dan Tari mencari pesanan ayahnya, merekapun langsung  pulang.Di tengah asyiknya perjalanan, tiba-tiba laki-laki yang dari tadi  bersama mereka menanyakan nama mereka.”Mbak, saya boleh tanya sesuatu  gak sama mbak berdua, soalnya engkan dari tadi kita mengobrol tapi saya  dan mbak kan belum kenal satu sama lain...” “Boleh.....apa ??” tanya Putri. “Saya Cuma mau tanya siapa nama mbak berdua ini, kalau nama saya  Andika.” “Saya salah satu dari mahasiswa di Universitas Indonesia.” “Kebetul saya lagi menyelesaikan sekripsi ujian akhir saya “Wah keren banget, ungkap Tari.” “Kalau saya ......” “O... ya, nama saya Putri dan ini adik saya namanya Tari.” “Saya seorang putri desa di desa ini dan adik saya sekarang lagi kulyah  di Universitas Teknologi Bandung. Akan tetapi Tari orangnya paling cepat  kagum akan sesuatu.Maklum sejak di tinggal  ibunya, dia memang suka di  manja sama ayah. “Eh... jadi malu ni” cetus Tari. “Sementara saya sendiri lagi sibuk mengurus organisasi perkumpulan  putri-putri desa, dan di tambah lagi harus mengurus rumah, ayah, dan  adik saya ini.” “Emangnya ibu kalian kemana....” tanya Andika. “Ibu kami sudah lama meninggal, sekarang kami hanya tinggal bertiga  dengan ayah.” “O gitu......” “maaf saya gak bermaksud buat kalian sedih” “Nggak apa-apa ko mungkin ini smua sudah kehendak Allah.” “Ya si, tapi saya harap kalian harus sabar dan tetap tabah ya...” “terutama kamu Tari,kamu harus bantu kakak kamu, kan kasihan dia,  sudahlah sibuk dengan pekerjaannya di tambah lagi harus mengurus rumah,  kan kasihan....” Tak lama kemudian Tari dan Putri pun tiba di persimpangan jalan rumah  mereka.”Andika mungkin kita harus berpisah sampai di sini, karena kami  tinggal di jalan ini, ngak jauh kok, paling-paling lima menit dari sini,  sudah sampai.” Cetus Putri Akhirnya Putri, Tari dan Andika pun berpisah di tengah jalan.Sepanjang  perjalanan pulang, Andika hanya terbayang-bayang wajah kedua gadis itu,  apalagi dengan Tari yang dari tadi hanya bercanda dan selalu penuh  senyuman kepadanya. Sesampainya di rumah, Putri danTari sudah di tunggu ayahnya, karena  mereka ingin pergi ke rumah bibi mereka.Tak lama kemudian merekapun  berangkat ke rumah bibi mereka, untuk mengantar hadiah yang mereka  belikan tadi sekaligus untuk menjenguk keponakan mereka yang sedang  sakit.  Pagi-pagi sekali Andika sudah pergi ke kampusnya. Dengan wajah yang  penuh kegembiraan,diapun terus mengayuh sepedanya. “Ya Allah, seandainya pagi ini kau pertemukan aku dengan Tari, mungkin  aku tak bisa berkata- kata lagi untuk memujimu.” Ucap Andika kepada  dirinya sendiri. “Kring...kring...”  Bunyi suara sepeda di belakang Andika. “Pagi mas...” sapa Tari “Hay....pagi juga” sahut Andika. “Wah cantik banget,” ungkap Andika dalam hati “Mas....ko ngelihatnya seperti itu, apa ada yang salah atau ada yang  aneh gitu dengan saya” tanya Tari. “Ngak..., ngak ko ngak ada yang salah apalagi aneh.” “lalu apa dong....” “gini saya heran aja , dan gak nyangka aja kalau pagi ini  bisa bertemu  dengan orang uang secantik dan semanis dirimu” “ii....., mas ini gombal deh.” “ngak..., emang benar kok, kamu pagi ini terlihat tampak lebih cantik  dari pada kemaren, jangan-jangan kamu mau ketemu pacar kamu ya....” “ pacar......... saya belum punya pacar mas, kalaupun ada ya.... itu mas  kali.” “sorry.....,Cuma bercanda.” Sambil tertawa mereka terus mengobrol sampai di depan kampus Andika. Sekembalinya Tari ke rumah, dia tampak ceria dan mulai senang untuk  mengurus bunga-bunganya lagi dan mau membantu kakaknya. Sampai-sampai  kakak dan ayahnya pun heran melihat tingkah laku Tari akhir-akhir ini.  Itu semua terjadi saat Tari mengenal Andika dan mungkin karena kedekatan  mereka.  Andika adalah anak pak Sunarto, salah satu orang yang terpandang di desa  makmur. Dia juga selalu perduli akan kebutuhan orang lain dan  keluarganya.  Hari itu tampak Andika lebih awal dari hari biasanya pergi ke kampus. Di  tengah perjalanan ke kampus. Pikirannya hanya tertuju pada Tari. Maklum  mereka juga sudah sangat dekat. Tiba-tiba taripun muncul dari belakang  Andika, seraya mengucapkan,”selamat pagi tuan......”Andika ppun terkejut  bukan kepalang, dia sungguh tak menyangka kalau pagi itudia bisa  bertemu lagi dengan Tari. Soalnya sudah tiga hari dia tidak berjumpa  dengan Tari, karena Tari ikut pergi ke desa untuk menjenguk bibinya di  sana, “Wah... kamu cantik sekali Tari” “ kamu tu ya paling bisa kalau merayu dan bercanda.” “ enggak...., saya tidsk bercanda, tapi ini kenyataan.” “mm....... terima kasih ya atas pujiannya.”   Tari memang terlihat sangat cantik, apalagi baju yang dia pakai sangat  mndukung wajahnya, wajar aja kalau dia trlihat sangat cantik. “o ya kamu hari ini ada acara tidak..” “ kalau tidak ada boleh dong saya main ke rumah kamu, sekalian  berkenalan dengan ayah kamu” “ kalau acara si gak ada tu” “ pi saya mau bantu kakak mempersiapkan undangan buat perkumpulan putri  desa lusa” “ soalnya kakak saya terpilih sebagai ketua umum perkumpulan putri desa” “O gitu, kalau memang lagi sibuk, lain kali aja deh saya main ke rumah  kamu ya.....” ‘ bolehkan.......” “ Iya, pasti boleh kok, nanti mas datang saja ke rumah saya, kebetulan  ayah juga lagi libur.”  Pagi itu tepat pukul 08.00 Andika bergegas untuk pergi ke rumah Tari.  Dia memakai baju kemeja lengan panjang berwarna putih dan di lapisi  dengan jas hitamnya, dan dia klihatan lebih tampan sekali dari biasanya.  Setelah sampai di rumah, Andika duduk di halaman rumah yang di penuhi  kembang dan mawar berwarna putih yang begitu harum baunya. “Subhanallah...., indah sekali kebun bunga ini” ucap Andika kekaguman  Tak lama kemudian Tari pun keluar dari rumahnya untuk menemui Andika  yang dari tadi sudah menunggunya di perkarangan rumahnya. “Pagi mas.....” sapa Tari “ eh..... kamu, pagi juga” “maaf ya sudah membuat mas lama menunggu” “O... gak kok, saya juga belum terlalu lama datang” “ ngomong-ngomong mana kakak dan ayah mu”    “Ko sepi sekali rumah ini” “o... itu, kakak lagi sibuk untuk persiapan kongres kongres putri desa  besok dan ayah lagi mandi” “ mas masuk yok”  Sambil menunggu ayah Tari keluar kamar, mereka sibuk mengobrol yentang  putri desa yang akan di adakan besok. Apalagi yang akan bicara  untuk  memberikan sambutan adalah kakak Tari sendiri yaitu Putri. “Kakak saya memang selalu sibuk untuk mengurus organisasinya, apalagi  mereka sekarang sudah bekrja sama dengan perempuan-perempuan kota untuk  di jadikan anggota organisasi mereka.” Ungkap Tari di tengah keheningan. “mengapa kamu tidak mau bergabung dengan organisasi kakak mu itu...” “ ya si....,sebenarnya saya mau ikut, tapi saya gak tahu caranya,  apalagi sayakan belum berpengalaman.” “kalaulah kamu mau masuk organisasi itu,pastilah kamu akan mendapat  pengalaman yang luar biasa apalagi bisa bertemu dan bisa berkenalan  dengan perempuan di bangsa kita ini.” “akhir-akhir ini perkumpulan para pemuda Indonesia juga gak kalah  hebatnya dari apa yang kakak mu lakukan.” “ ya, nanti saya akan coba mendaftarkan diri saya ke sana dan kalau di  terima, maka saya akan berusa untuk membawa nama baik perempuan bangsa  ini, agar menjadi perempuan yang kuat dan bermatabat di mata dunia.” “Kalau kamu memang serius,maka saya akan dukung kamu” Akhirnya ayah Tari pun keluar untuk menemui mereka.  Setelah sekian lama  mereka mengobrol, Andika pun meminta izin untuk membawa Tari  jalan-jalan.  Dan ternyata ayah Taripun mengizinkan. Setelah mendapatkan  izin dari sang ayah, Tari pun bersiap-siap untuk pergi. Tak lama  kemudian Tari dan Andika pun pergi untuk berjalan-jalan. Sementara itu  kakak Tari di panggil ayahnya keluar dan di suruh ayahnya untuk menunggu  adiknya sampai pulang.  Dari balik kaca rumah,Putri melihat adiknya yang berjalan teramat mesra  laksana sepasang kekasih. Dari kejauhan dia masih tetap saja memandang  gerak gerik adiknya itu hingga akhirnya tak terlihat lagi. Putri pun  tampak termenung di beranda rumah,dia seperti melamunkan sesuatu. “Toto, kalau saja kamu masih di sampingku hingga saat ini, pasti saya  tidak akan merasa kesepian seperti ini, dan saya juga merasa iri dengan  kebahagiaan adik saya dan temannya Andika.” Ucap Putri sambil menangis. Dia sepertinya teringat dengan bekas tunangannya dulu, dan mungkin saja  dia masih menyimpan rasa rindu di hatinya terhadap tunangannya itu,akan  tetapi dia selalu mencoba unt k mengubur rasa itu dari dari dalam  hatinya, hingga dia memutuskan untk mencari pengganti toto. Karena dia  tidak ingin di sakiti lagi untukedua kalinya. Hal itu juga yang mungkin  menyebabkan dia jadi keras dan tidak cepat kagum akan sesuatu,lain  halnya dengan Tari dia memang belum merasakan di khianati cinta.  Di sepanjang perjalanan Andika dan Tari selalu bercanda tawa tanpa  mengenal lelah dan memperdulikan waktu.sampai pada saat di mana tempat  yang mereka tuju telah di dekati,lalu merekapun tmpak bersiap-siap untuk  turun ke bawah air terjun yang sangat indah. “Wah, luar biasa sekali Allah menciptakaan alam dan pemandangan yang  seindah ini.”cetus Tari yang kagum akan keindahan alam yang di ciptakan  oleh sang illahi itu. “Tari kamu harus ingat apa kata ayahmu tadi,   kamu jangan sampai  terlalu kagum akan sesuatu.” “O.... gak kok” “saya hanya terharu saja pada keindahan alam di kaki pegunungan ini.” “soalnya tempat ini selalu mengigatkan saya pada sang bunda dan masa  kecil saya.” “dulu saya selalu di ajak bunda untuk pergi ke tempat-tempat seperti  ini, dan sekarang saya sudah tidak bisa merasakan itu lagi hanya baru  kali ini.” Ucap Tari sambil meneteskan air mata. “Tari, maafkan saya” “ saya tidak bermaksud membuat kamu sedih, saya hanya mau ingatin kamu  pada pesan ayah kamu tadi.” “O..... gak apa-apa kok,ini semua memang salahku yang terlalu larut akan  semua ini.”  Waktu sudah menunjuki pukul 17.30 WIB, dan kini Tari dasn Andika harus  bergegas pulang. Karena mereka tidak ingin mengecewakan dan membohongi  ayah Tari. “Andika, sepertinya kita harus lekas pulang, karena hari sudah terlalu  sore, nanti kita di cari ayah” “ ok, kalau begitu saya ambil tas dulu ya.” “O.... ya silakan.”  Padahal baru saja Andika ingin mengungkapkan isi hatinya kepada Tari,  tetapi mereka harus segera pulang. Supaya mereka tidak di cari sama  ayahnya Tari. Tak lama kemudian Tari dan Andika pun muncul di pekarangan  rumah Tari, di situ hanya tampak  kakaknya Tari yang dari tadi menunggu  mereka pulang. “Andika sepertinya itu kakak,” ucap Tari. “I ya...... itu memang kakak kamu yang lagi nungguin kamu.” “Assalamualaikum........” sapa Tari dan Andika kepada putri. “Waalaikumusallam......” "Eh kalian sudah pulang” “bagaimana jalan-jalannya, Asyik gak” “O...... itu, pasti dong” “jalan-jalannya asyik bangat” “Hai Andika.....” “Hai juga ......” “ O ya masuk yok, nanti saya buatin air. Mungkin kamu haus, karena sudah  satu harian jalan-jalan” “ Tari kamu tunggu di sini bentar ya, kakak  mau ambilkan air dulu  kedalam.” “E...... sudahlah Putri gak usah repot-repot, lagi pula saya mau pulang” “Kasian mama di rumah sendirian.” “Sekali lagi terima kasih aja atas tawarannya, sekarang saya permisi  pulang dulu ya.” “O ya silakan” “Andika, terima kasih ya atas.........” Tiba- tiba  ucapan Tari dia  hentikan sambil dia tersenyum dengan manisnya.  Andikapun bergegas pulang ke rumahnya, karena dia tidak mau membiarkan  mamanya sendirian di rumah sore-sore seperti ini. Maklum ayahnya memang  lagi tidak  ada di rumah. Sesamapainya di rumah Andika langsung masuk ke  dalam sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum.......” “ ma......mama.....” panggil Andika mencari mamanya. “waalaikumsalam.......” “ Ada apa si Dika kamu kok teriak-teriak.” “ seperti orang gila saja.” “ Ah... mama ini, bisanya Cuma becanda aja.” “ O ya ma,Dika mau mandi dulu ya. Soalnya badan Dika sudah bau bagat ni,  habisnya satu harian main di bawah sinar matahari dan air terjun di  bawah kaki gunung Cempaka.” “ Ya sudah, cepat mandi sana.......” “Jangan lupa shalat lalu baru kamu boleh istirahat.” “ ok deh mam....., tugas akan segera hamba laksanakan.”  Kongres putri desapun dimulai, dan tampak Putri lagi bersiap-siap untuk  menyampaikan sambutan kepada para peserta yang hadir. Dan tampak di situ  ada seorang putri yang cantik sekali. Siapa lagi dia kalau bukan Tari  adiknya Putri.  Tak lama kemudian Putripun berjalan menuju panggung dan naik ke atas  mimbar yang di sediakan panitia penyelenggara kongres tersebut, untuk  memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut. Setelah ia di  persilakan oleh pembawa acara, suara riuh tepuk tanganpun menghempas  ruangan yang tadinya sunyi. Setelah Putri menyampaikan isi sambutannya,  suara tepuk tangan yang tadinya ribut serentak hilang seketika. Kemudian  Putri berbicara tentang martabat wanita Indonesia yang hancur  disebabkan oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun,  tak lama kemudian gedung yang tadinya sunyi kini terdengar kembali oleh  suara riuh tepk tangan para  peserta kongres yang hadir. Ketika Putri  memberi semangat dan gambaran tentang wanita-wanita Indonesia masa kini.  Kongres itupun akhirnya selesai setelah Putri menutup acara tersebut dan  turun dari panggung kehormatannya. Tampak para peserta mulai sibuk  keluar dari gedung sambil bersalaman dengan Putri dan yang lainnya.  Hanya Tarilah yang masih duduk di bangkunya sampai para peserta tadi  keluar semua. Putri pun datang mendekati Tari, dan merekapun bergegas  untuk pulang ke rumah. Disepanjang perjalanan Tari selalu ingat akan  pesan kakaknya tadi waktu memberi sambutan. “ kita sebagai wanita Indonesia yang lahir di desa harus bisa bangkit  dan jangan mau di perbudak oleh kaum laki-laki.” Kata-kata itu selalu  teringat oleh Tari  Sesampainya dirumah Putri langsung pergi menuju ruang dapur, dan dia  melihat banyak sekali barang-barang yang kotor. Kemudian, dia langsung  membersihkannya. Lain hal nya dengan Tari, ketika sampai di rumah dia  langsung masuk kamar dan langsung istirahat. Tak lama kemudian, ayah  merekapun pulang kerumah dan melihat Putri yang lagi sibuk membersihkan  dapur. Melihat keuletan anak pertamanya itu dalam mengurus rumah tangga,  tiba-tiba dia teringat akan almarhum istrinya dulu. “ Bu.... kalau kamu masih hidup, pasti anak kita gak akan seperti ini.”  Ucap ayah Putri sambil menangis. Mendengar suara ayahnya di luar,  Putripun langsung keluar menemui ayahnya itu. “Eh..... ayah, sudah pulang yah??? “ Gimana yah keadaan bibi apa sudah baikan atau mungkin masih sakit....”  Sambil menyapu air matanya, didi menceritakan keadaan saudaranya itu  kepada putri. “ Putri bibimu sekarang sudah sembuh, dan sudah bisa bekerja lagi.” “ Kamu sendiri gimana apa kongresnya berjalan dengan lancar.” “iya yah... kongresnya lancar-lancar aja kok tadi.” “ yah, saya mau tanya sama ayah.” “Gimana kalau adik saya keluar aja dari anggota putri desa....” “Ya... kalau itu si ayah masih kurang berani mengambil keputusan,  soalnya kasihan adikmu dirumah tidak ada yang mau dia perbuat” “iya....ya, ayah benar juga.” “ nanti kalau Tari keluar dia mau kerja  apa....”  Hari sudah menjelang sore, tampak Putri dan Tari lagi asyikduduk berdua  di beranda rumah sambil bercanda. “ Tari ayo kita masuk.....” “sepertnya hari sudah mau magrib, kan tidak  enak di lihat tetangga kalau kita nongkrong di teras magrib-magrib  begini” “Ayo...., saya juga sudah capek bercanda terus apalagi sama kakak.” “Bosan ah.....” “Seperti gak ada nuansa baru.” “Udah ah....kamu ini, ayo masuk” Akhirnya Putri dan Taripun masuk kedalam rumah,lalu merekapun shalat  berjamaah bersama ayahnya. Sungguh keluarga yang sejahtera walaupun  keluarga mereka sudah kehilangan satu orang yang sangat berpengaruh  besar di keluarga itu dan yang sangat mereka sayangi. Siapa lagi kalau  bukan ibu mereka yang sudah tiada saat mereka masih kecil.  Pagi-pagi sekali, Putri sudah bangun. Dan dia langsung mempersiapkan  sarapan untuk ayah dan adiknya. Tak lama kemudian, ayah dan adiknya pun  bangun, dan ayahnya langsung bergegas mandi karena mau pergi bekerja.  Sebelum berangkat ayah Tari sarapan terlebih dahulu baru di ikuti Tari  dan Putri. Merekapun sarapan bersama-sama. Setelah selesai  sarapan,Taripun langsung pergi ke sekolah. Sungguh tiada disangka dan  diduga kalau hari ini dia juga bertemu dengan Andika. Ditengah  perjalanan mereka tampak asyk mengobrol layaknya sepasang kekasih.  Padahal mereka hanya sebatas teman biasa. “Tari apa kamu ada waktu hari minggu nanti.....” “waktu apa......?” “Waktu kosong....” “Kalau ada saya mau mengajak kamu pergi ketempat yang belum pernah kita  kunjungi di desa ini.” “Ada....” “Ok... kalau begitu nanti saya tanya sama ayah boleh apa tidak.” “Kalau boleh kita langsung pergi, tapi kalau tidak diizinkan mas jangan  kecewa ya.” “Pastinya dong.”  Sekembalinya Tari kerumah, diapun langsung berjumpa dengan ayahnya dan  diapun mencoba meminta izin kepada ayahnya. Namun ayahnya tidak  mengizinkan, karena hari minggu nanti akan di adakan kongres lanjutan.  Sebagai lanjutan dari kongres beberapa hari yang lalu. Taripun memahami  hal itu,dan diapun menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Hari minggu  itupun ternyata Andika pergi kerumah orang tuanya di kota baru, karena  dia sudah memasuki waktu liburan dan ingin menghabiskan liburannya  disana.  Pagi itu tampak kedua bersaudara itu sudah bersiap-siap untuk menghadiri  kongres lanjutan, dengan pakaian kebaya yang mereka kenakan menambah  indahnya suasana di pagi itu. Kongres itupun dimulai, setelah Putri  masuk dan naik ke atas mimbar. “saudara-saudara sepertinya kalian sangat jemu mendengar saya berbicara  di depan sini, membaca nasihat-nasihat yang sangat manis untuk kaum  perempuan ini. Tetapi, saudara-saudara harus ingat selalu akan hal itu.  Supaya kita bisa menjaga harkat dan martabat wanita bangsa ini." " supaya untuk menjaga wanita itu agar jangan cepat insyaf akan  kedudukannya, akan nasibnya yang nista ini.itu semua harus kita lakukan  demi melindungi kaum wanita dari kejahatan dan aib.dengan jalan jalan  demikianlah maka perempuan kita akan berguna dimata dunia.”  Panjang lebar Putri menyampaikan nasihat demi menjaga wanita bangsa ini.  Agar menjadi wanita yang kuat dan besar. Kongres itupun akhirnya usai dan para peserta memberikan tepuk tangan  dan semangat serta penghargaan kepada Putri, atas kepandaiannya dalam  memimpin. Putri dan Taripun langsung pulang kerumah karena mereka sudah  di tunggu ayah mereka. Hari itu mereka di ajak ayahnya pergi ke rumah  bibinya. Sudah satu minggu Andika di rumah orang tuanya, kini diapun ingin  kembali ke kampung halamannya untuk meneruskan kulyahnya yang sudah  masuk semester akhir itu. Namun dia juga masih ingin tinggal lebih lama  lagi dengan orang tuanya di kota baru karena dia sudah lama sekali tidak  bertemu dengan orang tuanya itu.  Tari dan Andikapun kini bisa berjalan bersama lagi, setelah hampir satu  bulan mereka tidak bertemu. Mereka duduk berdua  diatas batu besar yang   hitam kehijau-hjauan oleh  lumut. Andika mengenakan jas berwarna hitam  dan berdasi sutra yang kemerah-merahan. Dibahunya tersandang  tali botol  termos yang di gantung pada sisi lengannya,dan tangan kanannya di  pegangnya topi berwarna hitam. Tari yang memakai baju putih dan rok  hitam yang menutupi lututnya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang  lebih tinggi sedikit dari mata kakinya. Dipangkuannya dipegangnya sebuah  bungkusan kecil. Keduanya takjub melihat kehadapan, kepada air terjun  yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun  bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak, air yang baru jatuh itu  terkumpul dibawah didalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir  diantara batu-batu yang besar.  Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda. Dua orang  laki-laki dan dua orang perempuan. Diatas t ebing kelihatan beberapa  orang laki-lakiberpakaian padu. Sementara itu, dari atas tebing  dibelakang mereka senang tiasa kelihatan orang datang. “Mengapa kamu dia saja.....”  Tari mengangkat mukanya yang kemerah-merahan karena sinar matahari dan  memandang kepada Andika agak keletihan rupanya. “Saya agak lesu.....” katanya perlahan hampir tiada kedengaran.  Mendengar jawaban Tari itu, segera berubah muka Andika dan tampaknya dia  agak cemas. “ kamu sakit Tari.....” suaranya terang menyatakan bahwa ia agak  khawatir melihat rupa Tari ketika itu. Tapi Tari menggelengkan kepalanya  dengan senyum antara kelihatan dan tiada.    “ sakit si tidak, tapi saya agak letih” “ Saya dari dulu memang kurang kuat menahan letih.” “ Kalau saya sudah berlari cepat-cepat, pemandangan saya dan nafas saya  agak sesak.” “ Ya badanmu budan badan yang kuat, saya salah dari tadi tidak ingat  akan hal itu.” Kata Andika agak menyesal.  Andika memandang ke sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang baik.  Lalu dilihatnya dibelakang mereka ada batu yang besar, lalu berkata ia  kepada Tari. “ Tari. ..., ayo kita kesana ke batu dekat tebing itu, engkau boleh  beristirahat disana sesukamu.” “ Ah... tidak mengapa, disini saja paling juga sebentar lagi letih saya  akan hilang.” Jawab Tari membantah, ia tidak ingin menunjukan kelemahan  yang di lebih-lebihkan.  Tetapi andika tidak dapat disangkal lagi,ia merasa tanggungan yang  dipikulnya amat besar. “ Tidak.....tidak....., engkau harus duduk  disana.” Ucapan yang setetap itu tidak terlawan oleh Tari. Iapun berdiri  dan bersama-sama Andika, pergi kebatu ditepi tebing itu. Andika  mengeluarkan dua buah bingkisan roti dari sakunya dan diberikannya  sebuah kepada Tari. ” Marilah makan ini dulu, badanmu akan dikuatkannya kembali.”  Sementara itu, mereka bercakap-cakap juga. Bertambah lama bertambah  asyik, sebab lambat laun Tari hilang pula letihnya. Andika menceritakan  kebesaran dan keindahan alam didaerahnya tempat ia lahir. Hutan yang  luas, danau yang besar dan indah dan jalan yang berbelit-belit dan  berliku. Bercahaya-cahaya mata Tari mendengar cerita Andika akan  keindahan negerinya. Dan didalam hatinya yang mengagumi anak muda itu  tergambarlah segala hal yang didengarkannya itu.Tari mencoba berdiri dan  berjalan-jalan, seolah-olah dia berada ditenpat kelahiran Andika.  Andikapun sedikit tertawa melihat tingkah laku Tari yang berubah secara  spontantanitas itu. “ kamu sudah kuat Tari.......”saya takut nanti harus mengendong orang  pula pulang ke rumah.” Ejek Andika kepada Tari. “ Ya... saya tahu akan hal itu, sebab engkau tidak akan kuat mengendong  saya” jawab Tari sambil tertawa. Mukanya yang merah karena panas lebih  memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang keluar dari mulutnya   dengan tiada di ketahuinya itu, dan dibuangnyalah mukanya ke tempat lain  karena dia agak sedikit malu untuk memandang andika. “ Kalau tidak letih ternyata Tari lucu benar.” Ujar Andika dengan  tenang. Baiklah kita naik keatas berjalan-jalan disana.” Iapun berdiri  pula, diambilnyalah setangan alas duduk Tari, dikiraikannya beberapa  kali, lalu dimaskkannya kedalam sakunya. Tari mengambil lebih buah  anggur yanh terletak diatas batu dengan tangannya. “Indah benar tempat berjalan dibawah bambu ini” ujar Tari seraya  memandangkan matanya mengikuti jalan yang teduh dihadapan mereka. “ Ini pertama kali saya berjalan kemari, di Jakarta tidak ada tempat  berjaan hari minggu seperti ini dan seindah ini.”  Perasaan bahagia yang menahan kegembiraan hati mereka. Langkah mereka  memberat dan percakapan yang riang, penuh canda dan tawa melembut  seperti belaian yang halus. “ Mengapa kamu diam pula……..” kata Andika tiba-tiba setelah mereka lama  berjalan dengan tiada terkata-kata. Tari mengangkat mukanya melihat  kepada Andika dan matanya yang besar hitamdan jelita itu berat rupanya.  Senyum yanh tertahan membayang pada wajahnya. Andika segera membuang  mukanya melihat mata gadis yang menghimbau itu. Ia menolak perasaan yang  ghaib merasuk qalbunya. Tari melihat kepada bunga kembang setahun yang  tumbuh terpencil di bawah bunga Marygold yang gembira memuncakan  kembangnya yang kuning. “ Bagus benar bunga ini,” ujar Tari. “ kalau kita di Jakarta, tentu sudah saya cabut bunga ini untuk ditanam  di rumah.” “Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu  ditanam” “O ya, kalau begitu baiklah kamu yang menyimpannya, saya hendak  mencucukannya di kelopak bajumu.maukah kamu…..” Dengan tiada menanti jawaban lagi,seeralah Tari memetik bunga itu. Iapun  mendekati Andika dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu,  dan memasukannya kedalam kelopak baju Andika. Sementara itu,Andika  dengan pesat mengamati gadis yang sangat dekat dengannya itu. Rambutnya  yang hitam lebat teranyam, mukannya yang merah bercahaya tersenyum  ditahan. Sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada  dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi  kedua muda remaja itu. Dari mulut Tari keluar ucapan agak gemetar,  tatapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan  kemenangannya.  Tari tiada membantah lagi, tetapi mukanya yang memucat di tundukannya  kebawah dengan tiada berkata sesuatu apapun. Pada mata Tari kelihatan  kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta mengemetarlah suaranya  untuk pertama kali seumur hidupnya. “ Tari….Tari….. tahukah kamu kalau saya cinta padamu….” Badan Tari  gemetar dan melemah lalu diapun terjatuh ke tangan Andika dan seraya  menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu  hampir-hampir tiada kedengaran. “Lama benar kamu menyuruh saya menanti kata-katamu…..” tak dapat lagi  dia meneruskan ucapannya, sebab Andika menundukan kepalanya ke arah Tari  dan menutupkan bibirnya ke atas bibir Tari. Dan dalam curahan cinta  pertama yang mengemetarkan badan mereka yang muda remaja itu,menjauh  mengaburlah keinsafan mereka akan tempat dan waktu. Sama-sama mereka berjalan dengan penuh mesranya berpegangan di antara  pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ti tiup angin. Ketika tiba di  seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya  mereka melangkah dari batu ke batu. Sekelilingnya indah nan permai  seperti biasanya di tengah alam, dan indah nan permai seperti biasa pula  pujuk dan cumbu asyik maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan  perasaan cinta pertama yang penuh harapan.  Tari telah menceritakan kepada Putri bahwa dia telah berjanji kepada  Andika untuk menjadi istrinya di kemudian hari.  Pada suatu malam, sesudah makan gadis berdua itu berkumpul dikamar tidur  mereka. Putri duduk di meja membaca buku, sedangkan Tari  berguling-guling ditepi tempat tidur sambil membaca sebuah roman. Di  luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya hujan turun.  Beberapa lamanya Tari melamun di beranda menantikan kekasihnya yang  tiada juga kunjung-kunjung datang.  Putri sudah lama memperhatikan cara Tari membaca itu, geli hatinya  melihat ia yang tiada beralih-alih dari halam yang dibacanya itu.  Beberapa kali telah ia tegur Tariyang melamun menghadapi buku, tetapi  hal itu tiada diperdulikannya. Tak beberapa lama kemudian, kembalilah  Tari kekamarnya, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh  amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Putri “ kamu jahat benar  kak, menipu saya seperti itu.” Banyak yang tak dapat dikatakannya, lalu  dibantingkannya badannya ke tempat tidur, seraya menangis  tersedu-sedu.”Engkau selalu mengganggu saya, engkau tidak tahu bagaimana  perasaan saya” ujar Tari tersendu-sendu. “Tidak…. Tidak…., saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal akan  perbuatan saya tadi. Maafkanlah saya Tari….” Di tariknya tangan Tari  perlahan-lahan supaya melihat kepadanya lalu berkatalah dia “ Tari  mengapa engkau sebodoh itu……” Putri hanya berolok-olok . “Masa yang seperti itu sudah menangis, kamu bukan anak-anak lagi” “Ya… kamu ngak tahu perasaan saya , bagaimana ibanya hati saya” jawab  Tari  dengan nada yang agak tinggi bunyinya, seraya menelan sedunya dan  menghapus air matanya. “Masakan saya tidak tahu perasaanmu, sebab saya tahu perasaanmulah saya  hendak member nasihat kepadamu…” sebentar terhenti Putri seraya melihat  kepada adiknya itu, lalu katanya pula ” Tari….kamu I ni terlampau  menuruti perasaanmu.” Tari tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya,  ia tidak boleh memperkenankan cintanya kepada Andika di cela seperti  itu. Dengan suara yang terang menyatakan tiada senang hatinya mendengar  nasihat saudaranya itu, katanya “saya cinta kepadanya dengan seluruh  hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tidak mencintai dia gitu.”  Putri berbuat seolah-olah dia tidak tahu bahwa saudaranya marah dengan  nasihatnya. Dengan sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan  perkataannya, seolah-olah hendak menenangkan fikirannya senyata-nyatanya  mungkin, berkatalah ia “ maksud saya bukan menyuruh kamu berbohong dan  pura-pura tidak cinta dengan dia.” “Tidak sama sekali saya menyuruh kamu begitu.” “Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan  seperti sekarang ini, bearti merendahkan dirimu kepadanya.” “terlampau kamu menyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya,  bahwa kamu tidak dapat hidup lagi , kalau tiada dengan dia.”  Ah…. Kamu ingin mengatur orang pula, saya cinta padanya. Biarlah saya  mati daripada saya berpisah dari dia.” “Apapun akan saya kerjakan untuknya.” “Saya tidak takut dijadikan sahaya. Saya tahu dia cinta juga kepada  saya.” “Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina  menyatakan cinta saya itu padanya.” Jawab Tari dengan tegas mematahkan  segala perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu  karena di nasihati kakaknya seperti tadi. “ Engkau tidak usah memperdulikan urusan saya, saya tidak minta  nasihatmu.” Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Putri, jika dia tidak dapat  menyabarkan dirinya. Setelah itu, sunyilah di dalam kamar itu. Putri  memaksa dirinya untuk membaca buku, tatapi gelisah duduknya terang  menyatakan bahwa hatinya belum reda. Dan ti tempat tidur diam terlentang  Tari dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.  Sunyi sepi, hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Tari di rumah sakit.  Ada kalanya setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yang sedang ada  disana, tetapi ada pula kalanya sampai seminggu tiada dikunjungi orang.  Sekali-kali datang orang yang tiada di sangka-sangkanya, kenalan yang  hendak mengunjungi kerabatnya yang dirawat di rumah sakit itu. Hal itu  membawa kegembiraan hatinya yang tiada disangka-sangka baginya.  Sejak  dari semula Tari tahu bahwa diantara orang sakit yang banyak itu  dia termasuk orang yang berat sakitnya. Kadang-kadang berhari-hari panas  badannya, ia batuk-batuk memuntahkan darah. Waktu yang demikian  tiadalah dia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Dan apabila senua orang  pergi ke luar berjalan-jalan di sekitar rumah sakit itu, melayanglah  pikirannya kepada sekalian orang yang di kasihinya.  Kekasihnya,ayahnya,dan saudaranya.kadang-kadang tringat dia akan  bundanya  yang telah lama berpulang. Dalam waktu yang demikian amat  terasa kemalangan hidupnya di rumah sakit yang sepi di lereng gunung  itu. Jika ia masih dapat mengangkat badannya, maka seringlah dia melihat  dari jendela kaca ke luar kearah pegunungan yang indah. Sering tiada  dapat ia iba hatinya dan menangislah ia tersendu-sendu.  Tetapi apabila badannya agak sehat dan ia di perbolehkan keluar untuk  berjalan-jalan layaknya seperti orang sakit yang lain,maka dirinya  seperti hidup kembali. Puaslah ia mengecap keindahan daerah disekeliling  rumah sakit yang susah di cari tandingannya itu. Tiada terasa kepadanya  waktu habis, apabila ia berjalan di antara kembang-kembang aneka warna  yang amat subur naik ditanah pegunungan itu. Laksana hidup di surgalah  dirinya yang suka akan warna dan kepermaian itu, melancong-lancong di  sekitar rumah sakit itu.  Semua rempat yang dekat disitu dikunjunginya, selalu kakinya yang lemah  itu, tiada terasa penat-penat kakinya namun ia masih tetap saja berjalan  menikmati indahnya alam pegunungan disekitar rumah sakit itu. Nikmat  terasa olehnya pemandangan dari bangku tempat duduk di dataran rendah ,  nikmat terasa kepadanya menengadah ke atas melihat ke puncak gunung yang  bersembunyi di balik awan. Dan kemana sekalipun dia memandangang ,di  segala penjuru nampak kepadanya kegirangan hidup yang mesra di atas  tanah yang mewah membagikan kekayaan kepada dunia.  Sejak dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, berama-sama  dengan angin kuatyang begitu dahsyat. Pohon-pohon sekitar rumah sakit  itu terbuai tertunduk-tunduk  seraya gemuruh menderu-deru dan  berciut-ciut. Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-kejaran, sangat  cepat tiada habis-habis lakunya. Langit yang putih kelabu berat turun  kebawah samapai menyatu dengan pelarian kabut di lereng gunung.  Pada pagi yang seolah-olah seluruh alam mengamuk itu, terbaring Tari  tiada bergerak-gerak di tempat tidurnya. Matanya memandang jauh  kehadapan, tetapi tidak ada sesuatu apapun yang kelihatan olehnya. Kecil  dan jauh terpencil, ditinggalkan segala orang terasa kepadanya, dirinya  pada pagi-pagi yang gemuruh itu. Rasa iba dan pilu melayangkan  pikirannya, tiada tertahan-tahan. Sebentar ia ingat kepada kekasihnya  Andika yang sudah lama dan hampir jarang mengunjunginya.  Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter,  supaya Putri dan Andika dapat tiap-tiap hari datang mengunjunginya. Ah,  rasanya permintaan itu akan di kabulkan, sebab hari senin seminggu lagi  telah habis pula libur orang berdua itu dan lama pula ia akan berjumpa  lagi dengan mereka. Tari mengubah letak bantalnya sedikit, sebab ia hendak menghadap kepada  jendela kaca yang tertutup, yang lantang memberi pemandangan kesebelah  barat. Nampak kepadanya sebentar kabut terangkat dan terlihatlah puncak  gunung yang berwarna hijau kehitam-hitaman. Bersandar pada langit yang  rata putih kelabu-labuan. Di lerengnya masih berkejar-kejar kabut  menutup pemandangan, tetapi agak kebawah banyak kelihatan  kehijau-hijauan hutan dan kebun, mengabur dalam hujan yang turun tiada  henti-hentinya.  Pemandangan yang  suram kea rah gunung yang dibaluti awan dan kabut,   bertambah dalam perasaan sayu dalam hati Tari. Terasa benar kepadanya  kemalangan nasibnya. Telah hampir dua bulan ia terbaring dalam rumah  sakit itu. Usahakan penyakitnya berkurang, dua hari yang lalu ia  dipindahkan ke kamar khusus seorang diri. Tahu ia, bahwa ia di asingkan  itu oleh karena penyakitnya bertambah parah. Telah banyak orang yang  diasingkan kemari tiada hidup lagi keluar. Sering ia bertanya kepada  dirinya “ akan demikian pulakah nasib ku ini…..” Dan pagi-pagi ini pertanyaan itu lebih-lebih datang  merasuk kedalam  hatinya. “Kalau begini rasa-rasanya saya hanya menunggu waktunya saja lagi.” “Betapakah akan rasanya nanti mati, tidak lagi melihat dan mendengar,  menunggalkan segala hal yang dicintai dan disayangi untuk  selama-lamanya.   Matahari telah hampir terbenam dibalik gunung tanah baru. Bernyala-nyala  rupa mega diwarnainya, kuning, merah, dan ungu. Di lembah-lembah dan di  lereng gunung telah turun kekaburan senja, tetapi puncak-puncak yang  menengadah ke langit merah membara turut menyayikan laguan warna. Di seluruh rumah sakit yang putih jernih  dikaki pegunungan itu, sunyi  senyap seolah-olah iapun tiada hendak mengusik kepermaian alam pada  senjanya itu.  Dalam kamar tempat Tari masih Putri dan Andika duduk tiada  bercakap-cakap diatas bangku masing-masing. Kesunyian alam di luar masuk  kedalam kamar kecil yang bersih itu,berat mengeri menyelap kedalam  qalbu orang bertiga itu.  Hari ini adalah hari yang terakhir bagi Putri  dan  Andika untuk  mengunjungi Tari. Pagi-pagi besok keduanya akan bertolak ke Jakarta,  sebab libur mereka telah habis. Sangat berat terasa kepada mereka akan  meninggalkan Tari, apalagi oleh karena penyakitnya yang rupa-rupanya  makin bertambah parah. Dokter sudah berbisik kepada Andika, bahwa  penyakit Tari sudah susah untuk mengobatinya. Dinyatakan kekhawatirannya  kalau usahanya hanya sia-sia.  Bagi Tari perpisahan dengan kedua orang yang dicintainya itu lebih berat  lagi. Meskipun penyakitnya tiada menjadi ringan barang sedikitpun,  tetapi dalam seminggu ini tiada terkata-kata bahagia rasa hatinya setiap  hari bisa bertemu dengan tunangannya dan kakaknya itu. Dan sekarang  waktunya ia akan di tinggalkan Andika dan Putri itu, betapa amat pilu  rasa hatinya dan berbagai-bagai pikiran menghantui dirinya. Dari tempat tidurnya Tari memandangkan matanya keluar jendela. Keindahan   permainan benda di langit datang mendorong kalbunya tiada  tertahan-tahan lagi. Dan sedang di lamun kesedihan perpisahan dengan  kedua orang yang di cintainya itu. Lebih-lebih terasa kepadanya  perbedaan keadaan dirinya dengan keindahan tamasya alam di  sekelilingnya.Tetapi meskipun demikian sekejab tertarik terhanyut juga  hatinya yang pemuja keindahan itu oleh kepermaian  pemandangan ketika  itu, sehingga sebelum dapat di insyafkannya telah keluarlah dari  mulutnya antara kedengaran atau tidak “Alangkah indahnya tamasya di  senja ini, coba kalau saya masih bisa menikmatinya pasti akan saya  rasakan ….” Mendengar ucapan Tari itu Andika dan Putri sejurus memalingkan matanya  ke luar jendela dan keindahan alam pada pertukaran siang dan malam itu  masuk kedalam kalbu  mereka mendalamkan perasaan sayu dan pilu akan  perpisahan yang amat lekas, tiada dapat ditunda lagi. Andika mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar seperti riak air  yang tiada berarti dan bermakna.” Lima belas menit lagi pukul enam.”  Di tundukannyalah kepalanya melihat ujung sepatunya.  Sekejap lamanya  diangkatnya pula mukanya dan iapun melihat kepada kekasihnya yang  terbaring di tempat tidur. Pada saat itu bertemu matanya dengan mata  Tari yang kebetulan sedang mengamat-amati perangai tunangannya itu.  Senyum yang di paksa membayang pada muka yang berjorokan tulang itu  menyerupai seringai dan berat mengeluh selaku setelah perjuagan batin  yang hebat itu.  Andika berdiri pula sambil mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya  keluar kata-kata” tinggal dua menit lagi pukul enam.” Kedua-duanya  berdiri tegak dekat kepala Tari untuk mengucapkan selamat tinggal.  Sama-sama mereka bersungguh-sungguh memberi nasihat kepada Tari supaya  jangan menuruti hatinya, ia jangan sekali-kali berputus asa. Sekali lagi  Putri dan Andika memberi nasihat kepada Tari, sekali lagi mereka  mengatakan bahwa ia mesti sembuh, maka diucapkan merekalah” selamat  tinggal kepada juru rawat dan Tari.”  Dalam senja raya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan  tiada bercakap-cakap barang sepatah katapun. Diseluruh tanah pegunungan  itu malam telah mulai menyiratkan gelapnya. Mega hanya tinggal  kekelabu-labuan dan disana-sini masih tampak kekabur-kaburan warna ungu  lembayun, laksana jejak cahaya matahari yang telah turun dibalik gunung  padu perkasa yang biru hitam rupanya. Di langit bertambah lama bertambah  banyak kelihatan bintang kemilau mengerlip memandang dunia. Andika dan Putri terus berjalan ke bawah menuju auto yang akan membawa  mereka kembali ke rumah. Berbagai-bagai pikiran dan perasaan mengacaukan  jiwa mereka. Waktu terus berjalan. Keresik gugur, gugur ke bumi dan  puncak muda memecah, memecah pula di ujung dahan.” Hhuuhh…. Alangkah  lekasnya waktu berjalan…..” Hari masih pagi-pagi dan di perkuburan dekat kota Baru, tiada beberapa  jauh dari rumah Andika sunyi senyap. Tempat manusia melepas lelahnya  setelah perjuangan hidupnya itu, ketika itu tempat beristirahat yang  sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang ganjil yang  mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu.  Dari kejauhan terlihat dua orang anak muda datang sambil membawa untaian  bunga mawar yang indah.mereka tidak lain adalah Andika dan Putri.  Mereka datang ke kuburan itu hanya untuk berjiarah ke makam orang yang  sama-sama di cintainya itu. Pada batu nisan pualam putih terlukiskan sebuah nama yang tiada lain  adalah Tari. “Tari berpulang  10 Januari 1992.”  Ia wafat dalam usia yang ke 22 tahun. Tidak lama kemudian, perkebunan itupun sepi kembali tanpa ada satu  suarapun. Sementara itu,Putri dan Andika telah beranjak pergi  meninggalkan perkuburan itu, walaupun berat hati kedua orang itu  meninggalkan tempat itu. Terus, auto mereka melancar, berbelok-belok  menurun kebawah ke tempat kerja manusia di tengah-tengah perjuangan  dengan sedih dan senangnya…………. TAMAT 
 
Posting Komentar